BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kerangka
Teori
1.
Pendekatan
Kontekstual atau Contextual Teaching and
Learning (CTL)
Pendekatan
kontekstual atau contextual teaching and
learning (CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US
Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa
makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai
hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri
yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan
berusaha untuk menggapainya.
Tugas
guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai
tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi dari pada member
informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama
untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih
diwarnai student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas
guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1)
Mengkaji konsep atau teori yang akan
dipelajari oleh siswa.
2)
Memahami latar belakang dan pengalaman
hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3)
Mempelajari lingkungan sekolah dan
tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaitkan dengan konsep
atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual.
4)
Merancang pengajaran dengan mengaitkan
konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang
dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.
5)
Melaksanakan penilaian terhadap
pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refleksi terhadap
rencana pembelajaran dan pelaksanaannya.
Menurut
Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan contextual
teaching and learning (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu
konstriktivisme (contructivism),
menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment
).
Adapun tujuh komponen tersebut sebagai berikut :
1)
Konstruktivisme ( Contructivism )
Konstruktivisme merupakan landasan
berfikir contextual teaching and learning
( CTL ), yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat
pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri
aktif secara mental membangun pengetahuaannya, yang melandasi oleh struktur
pengetahuan yang dimilikinya.
2)
Menemukan ( Inquiry )
Menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual karena pengetahuan dan ketrampilan
yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta
tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan merupakan sebuah siklus
yang terdiri dari observasi, bertanya, mengajukan
dugaan (hipotesis
), pengumpulan data, dan penyimpulan.
3)
Bertanya ( Questioning )
Pengetahuan yang dimiliki seseorang
selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran
berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk :
a)
Menggali informasi.
b) Menggali pemahaman siswa.
c)
Membangkitkan respon kepada siswa.
d
) Mengetahui sejauh mana keingintahuan
siswa.
e)
Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui
siswa.
f)
Memfokuskan perhatian pada sesuatu yang
dikehendaki guru.
g)
Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa.
h)
Untuk menyegarkan kembali ingatan
siswa.
4)
Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Konsep masyarakat belajar menyarankan
hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil
belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu
ke yang belum tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah,
dua kelompok, atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling
belajar.
5)
Pemodelan ( Modelling )
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang
dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan siswanya untuk
belajar dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam
pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
6)
Refleksi ( Reflection )
Refleksi merupakan cara berfikir atau
respon tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa
yang sudah dilakukan di masa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan
langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7)
Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assesment )
Penilaian adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa.
Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu
diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang
benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan
kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
2.
Motivasi
Motivasi
adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu demi mencapai suatu tujuan tertentu (Winkel, 1984, dalam Psikologi
Pendidikan dan Evaluasi Belajar).
Nasution
(1995:73) mengatakan motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu.
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan motivasi adalah suatu keadaan yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu sehingga tujuannya dapat tercapai.
Menurut
Winataputra (2005:2.7) motivasi ada dua macam yaitu, motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsic muncul dari dalam diri siswa. Sedangkan
motivasi ekstrinsik berasal dari luar misalnya pujian, nasehat dari guru atau
orang tua, bisa juga dari suasana belajar yang menyenangkan.
Ada
beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa
antara lain :
a.
Mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip
belajar.
b.
Mengoptimalkan unsure-unsur dinamis
dalam pembelajaran.
c.
Mengoptimalkan pemanfaatan pengalaman
atau kemampuan yang telah dimiliki siswa.
d.
Mengembangkan cita-cita atau aspirasi
siswa.
3.
Hasil
Belajar
Hasil belajar
merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pebelajar setelah mengalami
aktivitas belajar. Oleh karena itu pebelajar mempelajari pengetahuan tentang
konsep. Maka perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep.
Tujuan pembelajaran merupakan deskripsi tentang
perubahan tingkah laku yang diinginkan atau deskripsi produk yang menunjukkan
bahwa belajar telah terjadi. ( gerlach dan Ely, 1980 dalam Ani 2007 : 5 - 6).
Hasil belajar
menurut Anni (2007: 4) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pebelajar
setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek–aspek perilaku tergantung
pada apa yang dipelajari oleh pebelajar.
Dimyati dan
Mudjiono hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu
sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum
belajar. Menurut Hamalik, hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar
akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak
tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan lain sebagainya. www.Indramunawar.blogspot.com
Dari beberapa uraian diatas maka dapat diperoleh suatu
kesimpulan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa
setelah belajar, yang diwujudkan berupa kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor.
4.
Hakikat
IPA
IPA
sendiri berasal dari kata sains yang berarti alam. Sains menurut Suyoso
(1998:23) merupakan “pengetahuan hasil kegiatan manusia yang bersifat aktif dan
dinamis tiada henti-hentinya serta diperoleh melalui metode tertentu yaitu
teratur, sistematis, berobjek, bermetode dan berlaku secara universal”.
Selain
itu, Nash 1993 dalam Samatowa (2006: 2) dalam bukunya The Nature of science, menyatakan bahwa IPA itu adalah suatu cara
atau metode untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara IPA
mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap, cermat, serta menghubungkan
antara satu fenomena dengan fenomena yang lain sehingga keseluruhannya
membentuk suatu perspektif yang baru tentang obyek yang diamatinya.
IPA
membahas tentang gejala-gejala
alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan
pengamatan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler dalam Samatowa
(2006: 2-3), bahwa IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala alam dan
kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang
berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen.
Dari
pengertian-pengertian
yang diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa IPA adalah ilmu yang
mempelajari seluruh alam dan gejala-gejala
yang ada didalamnya melalui kegiatan observasi, experiment secara sistematis.
Cain
dan Evan ( 1993: 2
) menjelaskan tentang hakekat sains didekati sebagai suatu kumpulan ilmu
pengetahuan atau fakta yang
harus dihafal dan diulang-ulang sampai tes. Pada tahun 1960-an
terjadi perkembangan dalam memandang sains. Sains tidak hanya dipandang sebagai
produk atau isi melainkan juga dipandang sebagai proses. Sains menjadi sesuatu
yang lebih “ hidup”. Pendidik sains mulai menggunakan istilah sciencing untuk memfokuskan pada
perubahan ini.
Tahun
1980-an pengajaran
sains utamanya menekankan keterkaitan sains dengan kehidupan sehari-hari. Tugas yang penting bagi guru IPA
adalah mempersiapkan siswa untuk kehidupan pada dunia teknologi yang terus
menigkat yang mereka hadapi sekarang dan pada abad 21 ini. Selanjutnya cukup
penting untuk mempersiapkan pengajaran sains yang sesuai dengan hakekat sains. What
is science? What is science do I teach? These are questions that onemust ask in
order to become aware of following component of science: (1) content or
product, (2) processor methods, (3) attitude, (4) technology. Mengajarkan
sains yang benar harus mencakup ke empat komponen tersebut. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut ( Cain dan Evan, 1993 : 4)
a)
Sains sebagai produk
Sains
sebagai produk
ini mencakup fakta, konsep, prinsip, hokum dan teori. Pada tingkat dasar sains
dibedakan menjadi 3 yaitu sains kehidupan (biologi), fisik dan Ilmu bumi.
b)
Sains sebagai proses
Sains
sebagai proses disini tidak dipandang sebagai kata benda, kumpulan pengetahuan
atau fakta untuk dihafalkan melainkan sebagai kata kerja, bertindak, melakukan,
meneliti, yaitu sains dipandang sebagi alat untuk mencapai sesuatu. Bagaimana
anak memperoleh informasi ilmiah itu lebih penting daripada sekedar
keterlibatan mereka menghafal isi sains. Mereka
membutuhkan pengalaman yang meliputi mengumpulkan data, menganalisa dan
mengevaluasi isi sains. Pendekatan sains ini mengubah peranan tradisional baik
guru maupun siswa. Pendekatan sains menuntut partisipasi aktif siswa dan guru
yang berfungsi sebagai pembimbing atau narasumber. Pendekatan ini memacu pada
pertumbuhan dan perkembangan pada semua area pembelajaran, tidak hanya dalam
penghafalan fakta.
Pendekatan
pendidikan sains yang baik seharusnya termasuk mengembangkan keterampilan
proses penelitian, yang meliputi keterampilan proses IPA dasar dan keterampilan
IPA terpadu. Ketrampilan proses IPA dasar terdiri dari pengamatan, klasifikasi, pengukuran, penggunaan
hubungan ruang/waktu, komunikasi, prediksi dan inferensi. Selanjutnya proses
yang lebih kompleks (keterampilan proses terpadu) terdiri dari pendefinisian
variable secara operasional, perumusan hipotesis, penginterprestasian data,
pengontrolan variabel
dan eksperimen.
Keterampilan
proses penelitian merupakan dasar dari semua pembelajaran. Keterampilan
tersebut tidak terpisah dari isi sains, melainkan merupakan alat penelitian
ilmiah. Penggunaan keterampilan tersebut dalam mengumpulkan, mengorganisasikan,
menganalisa dan mengevaluasi isi sains merupakan tujuan bersains
c)
Sains sebagai sikap
Guru
pada tingkat sekolah dasar harus memotivasi anak didiknya untuk mengembangkan
pentingnya mencari jawaban dan penjelasan rasional tentang fenomena alam dan fisik. Sebagai guru hendaknya
memanfaatkan keingintahuan anak dan mengembangkan sikap tersebut untuk
penemuan. Memfokuskan pada pencarian jati diri anak mengapa dan bagaiman
fenomena itu terjadi.
d)
Sains sebagai teknologi
Perkemabangan
teknologi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari menjadi bagian penting dari belajar
sains. Penerapan sains dalam penyelesaian masalah dunia nyata tercantum pada
kurikulum KTSP. Pada kurikulum tersebut siswa terlibat dalam mengidentifikasi
masalah dunia nyata dan merumuskan
alternatif
penyelesaiannya dengan menggunakan teknologi. Pengalaman ini membentuk suatu
pemahaman peranan sains dalam perkembangan teknologi. Sains bersifat
praktis sebagai bekal yang berguna dalam
kehidupan sehari-hari dan juga dalam memahami dampak
sains serta teknologi pada masyarakat.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sains terdapat empat komponen yaitu 1)
sains sebagai produk bahwa sains mencakup fakta, konsep, hukum, dan teori yang dapat dipelajari. 2)
sains sebagai proses bahwa dalam pembelajaran siswa tidak hanya menghafal
konsep yang ada tetapi melakukan sesuatu untuk memperoleh pengetahuannya itu.
3) sains sebagai sikap ilmiah bahwa dalam pembelajaran sains berorientasi untuk
menumbuhkan sikap positif terhadap lingkungan dan mencoba menjelaskan fenomena
yang terjadi di lingkungan secara rasional. 4) sains sebagai teknologi bahwa
dalam pembelajaran sains diharapkan siswa mampu menerapkan pengetahuannya untuk
memecahkan masalah di lingkungan dengan memanfaatkan teknologi. Sebagai seorang
pengajar hendaknya menekankan empat komponen tersebut dalam pembelajaran IPA di
kelasnya.
5.
Ekosistem
Secara sederhana ekosistem dapat
diartikan sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Ekosistem berhubungan erat
dengan populasi serta spesies yang saling berhubungan di dalamnya. Ekosistem
merupakan sebuah system ekologi yang terbentuk sebagai akibat dari hubungan
timbale balik antara makhluk hidup (biotik) dengan makhluk tak hidup (abiotik).
Berikut beberapa pengertian dari definisi ekositem.
a. Hartono
Ekosistem adalah hubungan antara
seluruh makhluk hidup dengan benda tak hidup di suatu daerah tertentu.
b. Susilowarno
Ekosistem adalah interaksi atau
hubungan timbale balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem
merupakan suatu bentuk komunitas dalam suatu areal tertentu dapat berupa
daratan atau air.
c. Haryati,
dkk
Ekosistem adalah kesatuan
lingkungan hidup yang tercipta karena adanya interaksi antara unsur biotik dan
abiotik.
d. Setyaningtyas
Ekosistem adalah tempat
berlangsungnya hubungan ketergantungan antara makhluk yang satu dengan yang
lain dalam suatu tempat.
e. UU
No 23 Tahun 1997
Ekosistem adalah tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas
lingkungan hidup.
6.
Keseimbangan
Ekosistem
Keseimbangan
menggambarkan keadaan dinamika system yang tidak mengalami gejolak atau stabil
(Tarumingkeng, PhD). Ekosistem dikatakan seimbang juga apabila suatu ekosistem
masih alami dan belum terganggu (homeostatis) yaitu ekosistem yang mampu
menahan berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan. Sehingga
Keseimbangan ekosistem merupakan keadaan dimana semua komponen baik biotik
maupun abiotik berada pada posisi yang seharusnya baik jumlah maupun peranannya
dalam lingkungan.
B.
Hasil
Penelitian Relevan
Penelitian
yang relevan untuk mendukung penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Kharisma Lestari dengan judul
penerapan pendekatan contextual teaching
and learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN
Umbulan Winongan Pasuruan yang dilakukan pada tahun 2009. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan pendekatan contextual
teaching and learning (CTL) pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan hasil
belajar IPA siswa kelas IV SDN Umbulan Winingan Pasuruan. Ternyata, penelitian
ini telah berhasil meningkatkan kualitas pembelajaran IPA dengan indikasi bahwa
hasil belajar IPA meningkat dibandingkan dengan pembelajaran secara
konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa
pada pra tindakan (57,3), siklus I (67,4), siklus II (85, 3).
Penelitian
dengan pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Rochmat Zaenuri Noor dengan
judul “Penerapan Pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA
tentang Konduktor dan Isolator Panas pada Siswa Kelas VI SDN Margorejo 2”. Penerapan
pendekatan kontekstual (CTL) tersebut menunjukkan perubahan kualitas
Pembelajaran IPA yang mengalami peningkatan yang cukup baik pada siklus I dan
siklus II, bila dibandingkan dengan pembelajaran sebelumnya yang hanya
menggunakan metode ceramah. Hal ini dapat kita lihat pada nilai rata-rata hasil
belajar siswa pada pra tindakan (55,4), siklus I (70,8), siklus II (86, 7)
Mengacu
pada kedua hasil penelitian di atas, maka relevan sekali terhadap penelitian
yang peneliti lakukan yaitu dengan judul “Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Peningkatan Motivasi dan Hasil
Belajar IPA tentang Keseimbangan Ekosistem bagi Siswa Kelas VI SDN 1 Karangsari.”
C.
Kerangka
Berpikir
Gambar
2.1. Kerangka Berpikir Penelitian Tindakan Kelas
Berdasarkan
kerangka berpikir di atas dapat dilihat bahwa pada kondisi awal, peneliti dalam
pembelajaran belum menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
sehingga siswa kurang termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dan hasil
belajar siswa pun belum maksimal atau sesuai dengan harapan.
Pada siklus I peneliti dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan kontekstual, mengadakan diskusi kelompok yang terdiri
dari 6/7 siswa. Dari kegiatan pada siklus I setelah diadakan analisis ternyata
hasil yang dicapai siswa belum sesuai dengan keinginan atau target yang
diharapkan yaitu ketuntasan klasikal 75 % dari jumlah seluruh siswa, dan masih
ada beberapa siswa yang kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga
dilaksanakan siklus II.
Pada siklus II peneliti menggunakan pendekatan
kontekstual, mengadakan diskusi kelompok dengan anggota yang lebih kecil yaitu
3/4 siswa, mengerjakan lembar kerja siswa, dan menarik kesimpulan dengan
bimbingan peneliti.
Dari kegiatan pada siklus II kemudian di analisis
ternyata hasil belajar siswa sudah sesuai dengan harapan yaitu mencapai
ketuntasan klasikal 75%, serta siswa sudah termotivasi dan menjadi aktif dalam
pembelajaran. Dengan demikian, penggunaan pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA tentang
keseimbangan ekosistem.
D.
Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan
kajian teori dan kerangka berpikir seperti uraian di atas, maka hipotesis
tindakan yang diajukan adalah :
1.
Penerapan pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan motivasi belajar IPA tentang keseimbangan ekosistem bagi siswa
kelas VI SD Negeri 1 Karangsari.
2.
Penerapan pendekatan kontekstual dapat
meningkatkan hasil belajar IPA tentang keseimbangan ekosistem bagi siswa kelas
VI SD Negeri 1 Karangsari.
E.
Indikator
Kinerja dan Kriteria Keberhasilan
1.
Indikator
Kinerja
a) Indikator
Kinerja Motivasi
Indikator yang digunakan untuk mengukur
motivasi belajar siswa adalah, jika:
1)
Siswa tekun dalam mengerjakan tugas.
2)
Siswa aktif dalam proses pembelajaran.
3)
Siswa mempunyai rasa ingin tahu terhadap
materi yang disampaikan.
b) Indikator
Kinerja Hasil
Indikator
yang digunakan untuk hasil belajar siswa adalah ketuntasan dalam menguasai
materi pelajaran. Dengan kriteria siswa tuntas belajar, jika telah mencapai
tingkat penguasaan materi minimal 75 %. Indikator keberhasilan yang diharapkan
≥ 75 % dari 27 siswa dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPA tentang
keseimbangan ekosistem di atas nilai KKM yaitu 65.
2.
Kriteria
Keberhasilan
a) Kriteria
Keberhasilan Motivasi
Kriteria
keberhasilan motivasi siswa terhadap pembelajaran secara individu:
1) Memiliki
motivasi tinggi jika siswa memenuhi tiga indikator.
2) Memiliki
motivasi cukup jika siswa memenuhi dua indikator.
3) Memiliki
motivasi kurang jika siswa memenuhi satu indikator.
Kriteria
keberhasilan motivasi siswa terhadap pembelajaran secara klasikal jika 75 %
siswa memenuhi tiga indikator.
b) Kriteria
Keberhasilan Hasil Belajar
Kriteria keberhasilan hasil belajar
siswa terhadap pembelajaran secara individu, apabila siswa telah mencapai nilai
KKM yaitu 65, dan secara klasikal apabila ≥ 75 % siswa telah mencapai KKM.
0 Response to "Laporan BAB II Kajian Pustaka PTK IPA Program S1 PGSD Tahun 2013"
Post a Comment