Contoh PTK IPA Kelas VI SD BAB II SDN Tambakreja

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.   Kerangka Teori
  1. Pembelajaran Sains
a.    Pengertian dan Dimensi Umum Pembelajaran Sains
Cara pandang guru terhadap hakikat (esensi dan karakteristik) pendidikan sains akan mempengaruhi profil pembelajaran sains yang diselenggarakan guru bersama siswanya. Oleh karenanya pemahaman yang benar tentang karakteristik pendidikan sains mutlak diperlukan guru. Karakteristik tersebut sekurang-kurangnya meliputi pengertian dan dimensi (ruang lingkup) pendidikan sains.
Menurut Rustaman (2008:1) sains secara sederhana didefinisikan sebagai ilmu tentang fenomena alam semesta. Dalam kurikulum pendidikan dasar terdahulu (1994), dijelaskan pengertian sains sebagai hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah, antara lain penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan-gagasan. Dalam kurikulum 2004, sains diartikan sebagai cara mencari tahu secara sistematis tentang alam semesta.
Menurut Ristasa (2012:2) ucapan Einsten: "Science is the atempt to make the chaotic diversity of our sense experience correspond to a logically uniform system of thought", mempertegas bahwa sains merupakan suatu bentuk upaya yang membuat berbagai pengalaman menjadi suatu sistem pola berpikir logis tertentu, yang dikenal dengan istilah pola berpikir ilmiah.
Untuk membahas hakikat sains, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagaimana dikemukakan oleh Hardy & Fleer (dalam Wenno, 2008:15-16) sehingga memungkinkan para guru memahami sains dalam perspektif yang lebih luas. Sekurang-kurangnya ada 7 ruang lingkup pemahaman sains.
1)   Sains sebagai kumpulan pengetahuan
Sains sebagai kumpulan pengetahuan mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan yang sangat baru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, teori, dan generalisasi yang menjelaskan alam.
2)   Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigation)
Sains sebagai suatu proses penelusuran umumnya merupakan suatu pandangan yang menghubungkan gambaran sains yang berhubungan dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Dalam kategori ini sains dipandang sebagai sesuatu yang memiliki disiplin yang ketat, objektif, dan suatu proses yang bebas nilai.
3)   Sains sebagai kumpulan nilai
Sains sebagai kumpulan nilai berhubungan erat dengan penekanan sains sebagai proses. Bagaimanapun juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat pada sains. Ini termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu, dan keterbukaan.
4)   Sains sebagai cara untuk mengenal dunia
Proses sains dipengaruhi oleh cara di mana orang memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Sains dipertimbangkan sebagai suatu cara di mana manusia mengerti dan memberi makna pada dunia di sekeliling mereka, selain juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui dunia beserta isinya dengan segala keterbatasannya.
5)   Sains sebagai institusi sosial
Ini berarti sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para profesional, yang melalui sains mereka didanai, dilatih, dan diberi penghargaan akan hasil karya. Para ilmuwan ini sangat terikat dengan kepentingan institusi, pemerintah, politik, bahkan militer.
6)   Sains sebagai hasil konstruksi manusia
Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dan suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat semesta alam. Pengetahuan ilmiah ini tidak lain merupakan akumulasi kebenaran. Hal pokok dalam pandangan ini adalah sains merupakan konstruksi pemikiran manusia. Oleh karenanya, dapat saja apa yang dihasilkan sains memiliki sifat bias dan sementara.
7)   Sains sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari
Orang menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains. Bukan saja pemakaian berbagai jenis, produk teknologi sebagai hasil investigasi dan pengetahuan, melainkan pula cara bagaimana orang berpikir mengenai situasi sehari-hari sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah (scientific approach).
Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai paparan para pakar tentang ruang lingkup sains, Ristasa (2012:5-7) mengkategorikan hakikat pendidikan sains ke dalam tiga dimensi, yaitu: (1) dimensi produk, (2) dimensi proses, dan (3) dimensi sikap.
Dimensi produk meliputi konsep-konsep, prinsip­-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori di dalam sains yang merupakan hasil rekaan manusia dalam rangka memahami dan menjelaskan alam bersama dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Produk Sains (konsep, prinsip, hukum, dan teori) tidak diperoleh berdasarkan fakta semata, tetapi berdasarkan data yang telah diuji melalui serangkaian eksperimen dan penyelidikan. Fakta adalah fenomena alam yang berhasil diobservasi tetapi masih memungkinkan adanya perbedaan persepsi di antara pengamat (pelaku observasi). Fakta yang diapersepsi sama oleh setiap observer disebut data. Bertumpu pada sekumpulan data yang sahih itulah suatu fenomena dalam diabstraksikan ke dalam bentuk konsep. Secara sederhana ada tiga jenis konsep: konsep teramati, konsep terdefinisi, dan konsep menyatakan hubungan. Kursi dan ruang kelas adalah contoh konsep teramati. Kita dapat memahaminya semata-mata dengan menyaksikan bentuk konkretnya, dan bukan mendefinisikannya. Energi, medan, suhu adalah contoh konsep menyatakan hubungan. Carin (1993:4) mengajukan tiga kriteria bagi suatu produk sains yang benar. Ketiga kriteria tersebut adalah: (1) mampu menjelaskan fenomena yang telah diamati atau telah terjadi; (2) mampu memprediksi peristiwa yang akan terjadi; (3) mampu diuji dengan eksperimen sejenis.
Dimensi proses, yaitu metode memperoleh pengetahuan, yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ini dalam Sains sekarang merupakan gabungan antara metode induksi dan metode deduksi. Metode gabungan ini merupakan kegiatan beranting antara deduksi dan induksi, di mana seorang peneliti mula-mula menggunakan metode induksi dalam menghubungkan pengamatan dengan hipotesis. Kemudian, secara deduksi hipotesis ini dihubungkan dengan pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasinya. Setelah melewati berbagai perubahan yang dinilai perlu, hipotesis ini kemudian diuji melalui serangkaian data yang dikumpulkan secara empiris.
Metode ilmiah dalam proses sains memiliki kerangka dasar prosedur yang dapat dijabarkan dalam enam langkah: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan; (3) pengklasifikasian data; (4) perumusan hipotesis; (5) pengujian hipotesis; dan (6) melakukan generalisasi. Pada tahap-tahap tersebut terdapat aktivitas-aktivitas yang secara umum bisa, dilakukan oleh para peneliti, yang dikenal dengan keterampilan proses, yaitu: melakukan observasi, mengukur, memprediksi, mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan, merumuskan hipotesis, melakukan eksperimen, menganalisis data, dan mengkomunikasikan hasil penelitian. Dalam pengajaran sains, aspek proses ini muncul dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Ada atau tidaknya aspek proses ini sangat bergantung pada guru.
Dimensi sikap ilmiah adalah berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuwan khususnya ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru. Sikap dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, seperangkat sikap yang bila diikuti akan membantu proses pemecahan masalah; dan kedua, seperangkat sikap tertentu yang merupakan cara memandang dunia, serta berguna bagi pengembangan karir di masa yang akan datang. Termasuk ke dalam kelompok pertama, antara lain adalah:
1)   kesadaran akan perlunya bukti ketika mengemukakan suatu pernyataan;
2)   kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi/pandangan lain;
3)   kemauan melakukan eksperimen atau kegiatan pengujian lainnya secara berhati-hati; dan
4)   menyadari adanya keterbatasan dalam penemuan keilmuan.
Sedangkan sikap-sikap yang termasuk kelompok kedua adalah:
1)        rasa ingin tahu terhadap dunia fisik/biologis dan cara kerjanya;
2)        pengakuan bahwa sains dapat membantu memecahan masalah­-masalah individual dan global;
3)        memiliki rasa antusias untuk menguasai pengetahuan dan metode ilmiah;
4)        pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan dalam masa kini;
5)        mengakui sains merupakan hasil dan kebutuhan aktivitas manusia.
Harlen (1987) dalam Teaching and Learning Primary  Science  merekomendasikan sembilan sikap ilmiah yang harus dikembangkan sejak dini pada siswa. Pengembangan sikap ilmiah ini bukan melalui ceramah melainkan dengan memunculkannya ketika siswa terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah. Kesembilan sikap tersebut adalah:
1)   sikap ingin tahu (curiousity)
2)   sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
3)   sikap kerja sama (cooperation)
4)   sikap tidak putus asa (perseverance)
5)   sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness)
6)   sikap mawas diri (self critism)
7)   sikap bertanggung jawab (responsibility)
8)   sikap berpikir bebas (independence in thinking)
9)   sikap kedisiplinan diri (self discipline)
Dari seluruh urian sains di atas, kiranya cukup jelas bahwa pendidikan sains bukan sekedar berisi rumus-rumus dan teori­-teori melainkan suatu proses dan sikap ilmiah untuk mendapatkan konsep­konsep ilmiah tentang alam semesta.
b.    Pembelajaran Sains yang Efektif
Pembelajaran sains pada jenjang pendidikan apapun dan dengan menggunakan pendekatan serta model apa pun harus benar-benar ekfektif Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:5­6) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai kegiatan belajar mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta didik) serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual setiap peserta didik. Ada baiknya jika guru yang akan merancang pembelajaran sains di SD memperhatikan tujuh ciri utama pembelajaran efektif yang memberdayakan potensi siswa sebagaimana diuraikan pada buku tersebut (Depdiknas, 2003:7-11). Ketujuh ciri itu adalah:
Pertama, berpijak pada prinsip konstruktivisme. Pembelajaran beranjak dari paradigma guru yang memandang bahwa belajar bukanlah proses siswa menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru, melainkan sebagai proses siswa membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain.

Kedua, berpusat pada siswa. Siswa memiliki perbedaan satu sama lain. Siswa berbeda dalam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar-baca, siswa lain lebih mudah dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak). Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai karaktenstik siswa. Pembelajaran perlu menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Artinya pembelajaran memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi belajar, dan latar belakang sosial siswa. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Ketiga, belajar dengan mengalami, pembelajaran perlu menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan atau dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari. Karena itu, semua siswa diharapkan memperoleh pengalaman langsung melalui pengalaman inderawi yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dari melihat, mendengar, meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium. Dalam hal ini, beberapa topik tidak mungkin disediakan pengalaman nyata, guru dapat menggantikannya dengan model atau situasi buatan dalam wujud simulasi. Jika ini juga tidak mungkin, sebaiknya siswa dapat memperoleh pengalaman melalui alat audio-visual (dengar-pandang). Pilihan pengalaman belajar melalui kegiatan mendengar adalah pilihan terakhir.
Keempat, mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan emosional. Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau guru. Dengan kata lain, membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar kelompok. Penyampaian gagasan oleh siswa dapat mempertajam, memperdalam, memantapkan, atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau guru. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada siswa lain, guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian, pembelajaran memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemauan, prestasi) dan berlatih untuk bekerjasama. Artinya, pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan empatinya, sehingga dapat terjalin saling pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.
Kelima, mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber­Tuhan. Siswa dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan. Rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar untuk peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sementara, rasa fitrah ber-Tuhan merupakan embrio atau cikal bakal  untuk bertaqwa kepada Tuhan. Pembelajaran perlu mempertimbangkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan agar setiap sesi kegiatan pembelajaran menjadi wahana untuk memberdayakan ketiga jenis potensi inti.
Keenam, belajar sepanjang hayat. Siswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bisa bertahan (survive) dan berhasil (sukses) dalam menghadapi setiap masalah sambil menjalani proses kehidupan sehari-hari. Karena itu, siswa memerlukan fisik dan mental yang kokoh. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk dapat melihat dirinya secara positif, mengenali dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya untuk kemudian dapat mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Tuhan YME kepadanya. Demikian pula pembelajaran perlu membekali siswa dengan keterampilan belajar, yang meliputi pengembangan rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama supaya mendorong dirinya untuk senantiasa belajar, baik secara formal di sekolah maupun secara informal di luar kelas.

Ketujuh, perpaduan kemandirian dan kerjasama. Siswa perlu berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidantas. Pembelajaran perlu menyediakan tugas-tugas yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri.
Pembelajaran sains yang dirancang berdasarkan syarat-syarat pembelajaran efektif di atas, pada pelaksanaannya akan menunjukkan tingginya kemampuan pembelajaran tersebut dalam menyajikan karakteristik atau hakikat pendidikan sains di SD. Sebagaimana telah disinggung di muka, karakteristik tersebut meliputi dimensi (ruang lingkup) proses ilmiah, produk ilmiah dan sikap ilmiah.
Pembelajaran sains yang efektif juga dicerminkan oleh tingginya kadar on-task (aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task (aktivitas non edukatif) siswa dalam pembelajaran. Menurut Belen (2003:42) salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task siswa adalah dengan mengembangkan kegiatan hand-on (psikomotor) dan mind-on (kognitif-afektif) melalui sejumlah keterampilan (skill) yang dilakukan siswa dalam kelas. Menurutn  Belen,  ada empat jenis keterampilan: keterampilan laboratorium (laboratory skills), keterampilan intelektual (intellectual skills), keterampilan berpikir dasar (generic thinking skills) dan keterampilan berkomunikasi (communications skills). Keempat jenis keterampilan ini tidak lain merupakan pengelompokkan dari keterampilan proses sains yang sudah kita kenal.
Dalam penyelenggaraan pembelajaran sains dengan pendekatan dan model apa pun guru harus tetap pro-aktif sebagai fasilitator; mau memonitor seberapa besar kadar on-task siswa, seberapa banyak keterampilan dan sikap ilmiah siswa yang dapat dikembangkan, dan sejauh mana konsep-konsep sains dikuasai dan diimplementasikan siswa. Jika semua itu tercapai secara optimal, dapat dsainsstikan bahwa pembelajaran sains yang diselenggarakan guru adalah pembelajaran sains yang efektif. Salah satu sikap proaktif guru adalah sejak awal berusaha memahami benar rambu-rambu pembelajaran sains dalam kurikulum.
  1. Model Pembelajaran Aktif
a.       Pengertian model pembelajaran aktif
Menurut Belen (2003:12) model pembelajaran aktif adalah cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan membangun makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi yang dilakukan oleh pengajar. Model pembelajaran ini juga menganggap mengajar sebagai kegiatan menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa sehingga mereka berkeinginan terus untuk belajar seumur hidupnya dan tidak tergantung terhadap guru/orang lain bila mereka mempelajari hal-hal baru.
Menurut Belen (2003:13-17) ada tiga alasan mengapa pembelajaran aktif diterapkan yaitu:
1)      Karakteristik anak
Pada dasarnya anak dilahirkan dengan memiliki sifat ingin tahu dan imajinasi. Anak desa, anak kota, anak miskin, anak kaya, anak Indonesia atau bukan, semuanya selama normal mereka memiliki kedua hal tersebut. Sifat ingin tahu merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap kritis dan imajinasi bagi perilaku kreatif.
2)      Hakekat belajar
Belajar adalah proses menemukan dan mengembangkan makna/pengertian oleh siswa terhadap informasi dan pengalaman, yang disaring melalui persepsi, perkiraan, dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa.
3)      Karakteristik lulusan yang dikehendaki
Agar mampu bertahan dan berhasil dalam hidup, lulusan yang diinginkan adalah generasi yang:
a)      Peka (berarti berpikir tajam, kritis, dan tanggap terhadap pikiran dan perasaan orang lain).
b)      Mandiri (berani dan mampu bertindak tanpa selalu tergantung pada orang lain).
c)      Bertanggung jawab (siap menerima akibat dari keputusan dan tindakan yang diambil)
b.      Suasana pembelajaran aktif
Menurut Belen (17-18) suasana pembelajaran aktif adalah suasana pembelajaran yang membuat siswa melakukan:
1)      Pengalaman
Anak akan belajar banyak melalui berbuat. Pengalaman langsung mengaktifkan lebih banyak indera dari pada hanya melalui pendengaran. Mengenal ada benda diam, bergerak lambat, bergerak cepat, melambung, dan menggelinding akan lebih mantap bila anak mencobanya sendiri dari pada hanya menerima penjelasan guru.
2)      Interaksi
Belajar akan terjadi dan meningkat kualitasnya bila berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, saling bertanya dan mempertanyakan, dan/atau saling menjelaskan. Diskusi, dialog atau bertukar gagasan akan membantu anak mengenal hubungan-hubungan baru tentang sesuatu dan memiliki pemahaman yang lebih baik.
3)      Komunikasi 
Pengungkapan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis, merupakan kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Pengungkapan pikiran, baik dalam rangka mengemukakan gagasan sendiri maupun menilai gagasan orang lain, akan memantapkan pemahaman seseorang tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari.
4)      Refleksi
Bila seseorang mengungkapkan gagasan kepada orang lain dan mendapat tanggapan, maka orang itu akan merenungkan kembali (refleksi) gagasannya yang lebih mantap. Refleksi dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi. Umpan balik dari guru atau siswa lain terhadap hasil kerja siswa, yang berupa pertanyaan yang menantang dapat menjadi pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari.
Sesuai dengan pengertian belajar aktif, yaitu menciptakan suasana dan mengembangkan inisiatif serta tanggung jawab belajar siswa, maka sikap dan perilaku guru menurut Belen (2003:18) sebaiknya:
1)   Terbuka dan mau mendengarkan pendapat siswa;
2)   Membiasakan siswa untuk mendengarkan bila guru atau  siswa lain berbicara/berpendapat;
3)   Menghargai perbedaan pendapat;
4)   Mentolelir kesalahan dan memotivasi untuk memperbaiki;
5)   Menumbuhkah rasa percaya diri siswa;
6)   Memberi umpan balik kepada siswa;
7)   Memotivasi siswa untuk tidak takut salah dan berani menanggung resiko.
Sedangkan mengenai ruang kelas yang menunjang belajar aktif, Belen (2003:20) merekomendasikan sebagai berikut yaitu:
Berisi banyak sumber belajar seperti buku dan benda nyata;
Berisi banyak alat bantu belajar seperti batu, lidi, tanaman, dan alat peraga.
Berisi banyak hasil kerja siswa seperti lukisan, laporan percobaan, dan alat hasil percobaan;
Letak bangku dan meja diatur sedemikian rupa sehingga siswa leluasa untuk bergerak.
Komponen-komponen pembelajaran aktif dan pendukungnya dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut:
Gambar 2.1. Komponen Belajar Aktif dan Pendukungnya dalam Konteks PBM (Belen, 2003:21)

Berkaitan dengan pembelajaran aktif ini, Magneson (dalam Ristasa, 2006:47) memberi gambaran  tentang korelasi hasil belajar dengan keterlibatan siswa, yaitu: 20% siswa belajar dari mendengarkan, 30% dari membaca, 60% membaca dan mendengarkan, 70% dari berbuat, 90% dari berbuat dan mendengarkan. Hal senada juga disampaikan Confisius (dalam Ristasa, 2006:46) "Saya mendengar maka saya lupa, saya melihat maka saya ingat, saya berbuat dan melakukan maka saya paham".
3.      Media Pembelajaran
Penggunaan media dalam  pembelajaran diawali oleh Komensky dalam bukunya Orbis Sensualium Pictus (dunia tergambar) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1657. Buku ini sebenarnya hanya buku bergambar, tetapi pembuatannya telah menggunakan prinsip-prinsip yang modern. Konsep dasar yang digunakan oleh Komensky berasal dari pernyataan Aristoteles, “Nihil est in intellect; quod non prius fuit in sensu". (tak ada sesuatu dalam pikiran tanpa lebih dahulu melakukan penginderaan).
a.       Pengertian Media Pembelajaran
 Menurut Sanjaya (2009:163) kata media merupakan kata jamak dari “medium” yang berarti berarti “tengah”, “perantara”, atau “pengantar”. Kata media berlaku untuk berbagai kegiatan usaha.
Ada beberapa konsep atau definisi tentang media. Henich et.al., (2002:1) mendefinisikan  media sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima.
Sementara itu Sadiman (dalam Ristasa, 2012:84) mengartikan media sebagai  segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
AECT (Assciation of Education and Comunication Technology, 1977) memberi batasan tentang media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi.
Media dalam konteks pembelajaran diartikan Djamarah (2006: 120) sebagai  alat bantu belajar  atau alat bantu pendidikan, maka secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.  Lebih lanjut Djamarah mengatakan, dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting, karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan materi yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu.
Sementara itu Fleming (dalam Ristasa, 2012:84) mengartikan media pembelajaran sebagai saluran yang menyampaikan pesan dari sumber pesan (guru) ke penerima pesan (siswa) sehingga dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran. Menurut Fleming, media berfungsi untuk mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak yaitu siswa dan isi pelajaran.
Berdasarkan beberapa  definisi tersebut,  maka dapat disimpulkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, sedangkan media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim dalam hal ini pendidik ke penerima dalam hal ini peserta didik, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian peserta didik sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar berjalan sesuai dengan tujuan.
b.      Landasan penggunaan media
Menurut Henich et.al. (2002:5-9) ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran, antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
1)    Landasan Filosofis
Banyak orang yang berpendapat bahwa penerapan teknologi dalam pembelajaran di dalam kelas, akan meyebabkan  pembelajaran menjadi kurang manusiawi (dehumanisasi). Akan tetapi, dengan bantuan berbagai media dalam pembelajaran akan memungkinkan siswa dapat mempunyai banyak pilihan untuk menggunakan media yang lebih sesuai dengan karakteristik pribadinya. Dengan kata lain, siswa dihargai harkat kemanusiaannya, diberi kebebasan untuk menentukan pilihan baik cara maupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya, sehingga penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi. Sebenarnya perbedaan pendapat tersebut tidak perlu muncul, yang penting adalah pandangan pendidik terhadap peserta didik dalam proses pembelajaran. Jika pendidik menganggap peserta didik sebagai anak manusia yang memiliki kepribadian, harga diri, motivasi, dan memiliki kemampuan pribadi yang berbeda dengan yang lain, maka baik menggunakan media hasil teknologi baru atau tidak, proses pembelajaran yang dilakukan akan tetap menggunakan pendekatan humanis.
Pendapat Henich tersebut mempertegas bahwa landasan filosofis media yakni memposisikan manusia sebagai manusia, siswa dihargai harkat kemanusiaannya, diberi kebebasan untuk menentukan pilihan baik cara ataupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya.
2) Landasan Psikologis
Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses pembelajaran, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, di samping memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami makna, persepsi, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses pembelajaran dapat berangsung secara efektif. Untuk maksud tersebut, perlu: diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan objek yang diamatinya, dan bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa.
Kajian psikologi menyatakan bahwa anak akan lebih mudah mempelajari hal yang konkret ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan kontinum konkret-abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa pendapat. Pertama, Jerome Bruner mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan benda nyata/konkret (enactive), kemudian ke semi konkret (iconic) baru  ke abstrak (symbolic). Menurut Bruner, hal ini juga berlaku tidak hanya untuk anak tetapi juga untuk orang dewasa. Kedua, Edgar Dale mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, Dale membuat jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak dengan dimulai dari peserta didik yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju peserta didik sebagai pengamat  nyata, dilanjutkan ke peserta didik sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir peserta didik sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. Jenjang konkret-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone of experiment), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

 














Gambar 2.2   Konsep enaktif, ikonik, dan simbolik dari Bruner dan kerucut pengalaman dari Dalejika disejajarkan menunjukkan persamaannya, walaupun antara keduanya sebenarnya terdapat perbedaan konsep (Heinich, et.al., 2002:12)

Dalam menentukan jenjang konkret ke abstrak antara Edgar Dale dan Bruner pada diagram di atas jika disejajarkan menunjukkan persamaannya, walaupun antara keduanya sebenarnya terdapat perbedaan konsep. Dale menekankan siswa sebagai pengamat kejadian sehingga menekankan stimulus yang dapat diamati, Bruner menekankan pada proses operasi mental siswa pada saat mengamati objek
3) Landasan Teknologis
Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber belajar. Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Lebih lanjut Heinich merekomendasikan bahwa dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah harus dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen-komponen sistem pembelajaran yang telah disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap. Komponen-omponen ini termasuk pesan, orang, bahan, media, peralatan, teknik, dan latar.
4)  Landasan Empiris
Dari hasil temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar siswa dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya, siswa akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya. Siswa yang memiliki tipe belajar visual akan lebih memperoleh keuntungan bila pembelajaran menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, atau film. Sementara siswa yang memiliki tipe belajar audititorial, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman suara, atau ceramah guru. Akan lebih tepat dan menguntungkan siswa dari kedua tipe belajar tersebut jika menggunakan media audio-visual. Berdasarkan landasan rasional empiris tersebut, maka pemilihan media pembelajaran hendaknya jangan atas dasar kesukaan guru, tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik pembelajar, karakteristik materi pelajaran, dan karakteristik media itu sendiri.
c.       Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran
Menurut Susilana dan Riyana (2009:8), penggunaan media dalam pembelajaran memiliki beberapa fungsi, di antaranya :
1)                Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke objek langsung yang dipelajari, maka objeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Objek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
2)                Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek, yang disebabkan, karena : (1) objek terlalu besar; (2) objek terlalu kecil; (3) objek yang bergerak terlalu lambat; (4) objek yang bergerak terlalu cepat; (5) objek yang terlalu kompleks; (6) objek yang bunyinya terlalu halus; (7) objek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
3)      Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
4)      Selain itu media juga memiliki fungsi yang lain yaitu: dapat menghasilkan keseragaman pengamatan; dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkret, dan realistis; dapat membangkitkan keinginan dan minat baru; dapat membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar; dan dapat memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkret sampai dengan abstrak
Hampir sama dengan Susilana dan Riyana, Hamalik (2008:34) menuliskan fungsi media pembelajaran sebagai berikut:
 1)  Membuat konkret konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep yang dirasakan masih bersifat abstrak dan sulit dijelaskan secara langsung kepada siswa bisa dikonkretkan atau disederhanakan melalui pemanfaatan media pembelajaran. Misalnya dalam mempelajari tentang arus listrik, yang tidak bisa dilihat tetapi dapat dirasakan, pelajaran ini bersifat abstrak dan dapat dikonkretkan dengan menggunakan media pelajaran salah satunya dengan model;
2)  Menghadirkan objek-objek yang terlalu berbahaya atau sukar    didapat ke dalam lingkungan belajar;
3)  Menampilkan objek yang terlalu besar atau kecil. Misalnya guru akan menjelaskan tentang atom, maka guru dapat menampilannya melalui media pembelajaran seperti power point, gambar yang diperbesar dan lain-lain; dan
 4)  Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat atau lambat. Dengan menggunakan tekhnik gerakan lambat (slow motion) dalam media film bisa memperlihatkan tentang lintasan peluru, melesatnya anak panah, atau memperlihatkan suatu ledakan. Demikian juga untuk gerakan-gerakan yang lambat.
Selain fungsi tersebut di atas, Susilana dan Riyana (2007: 9) menuliskan, secara umum media mempunyai kegunaan atau manfaat sebagai berikut:
1)   Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis;
2)   Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indera;
 3)  Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar;
4)   Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya; dan
 5) Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama.
d.  Kriteria Pemilihan Media
Tiap jenis media mempunyai karakteristik atau sifat-sifat khas tersendiri. Artinya mempunyai kelebihan dan kekurangan satu terhadap yang lain. Sifat-sifat  biasanya dipakai untuk menentukan kesesuaian penggunaan atau pemilihan media. Menurut Sadiman (dalam Ristasa, 2012:91-92)), ada lima hal yang biasanya menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan media, yaitu:
1)        Jangkauan, beberapa media tertentu lebih sesuai untuk pengajaran individual misalnya buku teks, modul, program rekaman interaktif (audio, video, dan program komputer). Jenis yang lain lebih sesuai untuk pengajaran kelompok di kelas, misalnya media proyeksi (OHT, Slide, Film) dan juga program rekaman (audio dan video). Ada juga yang lebih sesuai untuk pengajaran massal , misalnya program siaran ( radio, televisi, dan konferensi jarak jauh dengan audio).
2)        Keluwesan, dari segi keluwesan, media ada yang praktis mudah dibawa kemana-mana,  digunakan kapan saja, dan oleh siapa saja, misalnya media cetak seperti buku teks, modul, diktat, dan lain-lain.
3)        Ketergantungan media, beberapa media tergantung pemakaianya pada sarana/fasilitas tertentu atau hadirnya seorang penyaji/guru.
4)        Atribut, penggunaan media juga dapat dirasakan pada kemampuanya memberikan rangsangan suara, visual, warna maupun gerak.
5)        Biaya, alasan lain untuk menggunakan jenis media tertentu ialah karena murah biaya pengadaan atau pembuatanya.
Sejalan dengan hal tersebut di atas,  Lebih lanjut Sadiman (dalam Ristasa,2012:93-94) menuliskan beberapa kriteria media belajar dan pembelajaran yang baik antara lain:
1)      Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Media dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor.
2)       Media harus tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau generalisasi.
3)       Media harus praktis, luwes dan bertahan. Jika tidak tersedia waktu, dana, atau sumber daya lainnya untuk memproduksi, tidak perlu dipaksakan. Media yang mahal dan memakan waktu yang lama bukanlah jaminan. Sebagai media yang terbaik. Sehingga guru/dosen dapat memilih media yang ada, mudah diperoleh dan mudah dibuat sendiri oleh guru/dosen. Media yang dipilih sebaiknya dapat digunakan dimanapun dan kapanpun dengan peralatan yang ada di lingkungan sekitarnya, dan mudah dibawa dan dipindahkan ke mana-mana.
4)      Media harus dapat digunakan guru dengan baik dan terampil. Apapun medianya, guru/dosen harus mampu menggunakan dalam proses pembelajaran. Komputer, proyektor transparansi (OHP), proyektor slide, dan film, dan peralatan canggih lainnya tidak akan berarti apa-apa jika guru/dosen belum dapat menggunakannya dalam proses belajar mengajar di kelas.
5)   Mutu teknis. Pengembangan visual baik gambar maupun fotografi harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Misalnya visual pada slide harus jelas dan informasi atau pesan yang ditonjolkan dan ingin disampaikan tidak boleh terganggu oleh elemen lain yang berupa latar belakang.
6)   Media yang digunakan harus sesuai dengan taraf berfikir siswa atau siswa.
7)   Media yang digunakan harus dapat menunjang dan membantu pemahaman siswa/siswa terhadap pelajaran tersebut sehingga proses pembelajan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
d.      Pengelompokan media
Ada banyak media pembelajaran, mulai dari yang sangat sederhana hingga kompleks dan rumit; mulai dari yang hanya menggunakan indera penglihat hingga perpaduan lebih dari satu indra, dari yang murah dan tidak menggunakan listrik hingga yang mahal dan sangat tergantung pada perangkat keras.
Pengelompokkan berbagai jenis media apabila dilihat dari segi perkembangan teknologi oleh Seels dan Glasgow seperti yang dikutip Trihartanto (2007:6) dibagi ke dalam dua kategori luas, yaitu
Pilihan media tradisional
a)   Visual diam yang diproyeksikan (OHP, slide, video)
b)   Visual yang tak diproyeksikan (gambar, poster, chart, grafik)
c)   Audio (rekaman CD dan pita kaset)
d)  Penyajian multimedia.
e)   Visual dinamis yang diproyeksikan (film, televisi, video)
f)    Media cetak (buku, koran, majalah, hand-out)
g)   Realiti (model, specimen, contoh, manipulatif (peta, globe).

Pilihan media teknologi mutakhir
a)   Media berbasis telekomunikasi (teleconference)
b)   Media berbasis mikroprosesor (pembelajaran berbantuan komputer, permainan komputer, pembelajaran interaktif).
Pengelompokkan media yang banyak dianut oleh para pengelola pendidikan adalah seperti yang disampaikan oleh Kemp dan Dayton (Trihartanto, 2007:7) dikelompokkan menjadi delapan jenis vaitu: media cetak, media pajang, OHT dan OHP, rekaman audiotape, slide dan filmstrip, penyajian multi-image, rekaman video, dan film serta komputer.
  1. Maket Gerhana
Dalam pembelajaran tidak senantiasa selalu dapat menggunakan benda-benda yang sesungguhnya. Bisa saja digunakan benda pengganti dalam bentuk sederhana, dengan menghilangkan bagian benda yang kurang perlu serta menonjolkan bagian yang perlu saja. Benda-benda yang demikian disebut model atau maket.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1985:589), model atau maket diarikan sebagai barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru. Besar model dapat sama, lebih kecil atau lebih besar, tetapi bentuknya biasanya sama, seperti benda yang asli. Model terbagi menjadi tiga jenis yaitu : solid model (menunjukkan bagian luar), cross section model (menunjukkan struktur bagian dalam), working model (mendemontrasikan fungsi atau proses). Sedangkan Replika (Purwadarminta, 1985:84) berarti duplikat atau tiruan. Jadi model peraga replika gerhana   atau maket gerhana ialah barang tiruan yang kecil dengan bentuk persis yang ditiru untuk membelajarkan proses gerhana.
Model peraga replika gerhana menampilkan duplikat matahari, bumi dan bulan yang ukurannya diperkecil dari yang sesungguhnya. Replika gerhana ini terbuat dari tiga bola yang mempunyai ukuran berbeda. Bola besar yang di dalamnya ada lampunya sebagai matahari, bola sedang (globe) sebagai bumi, dan bola kecil sebagai bulan.
Bola besar dipasang pada kedudukan permanen, bola sedang dipasang pada dudukan dan dihubungkan dengan katrol berklinden agar dapat bergerak pada porosnya maupun bergerak mengelilingi bola besar (matahari). Bola kecil (bulan) dipasang menempel pada katrol yang digunakan dudukan globe tanpa klinden sehingga pada saat globe kecil mengelilingi bola besar (matahari), bola kecil (bulan) ikut bergerak.
Model peraga replika gerhana, ini selain dapat digunakan mendemontrasikan proses gerhana, juga dapat digunkan untuk mendemontrasikan gerakan bumi dan gerakan bulan.
Menurut Hamalik (2008:24) hal-hal yang perlu diperhatikan agar penggunaan model sebagai media dalam pembelajaran menjadi lebih efektif, yaitu:
a.       Bentuk dan besarnya agar dapat dilihat oleh kelas.
b.       Jangan terlalu banyak memberikan penjelasan agar konsentrasi siswa terfokus.
c.       Penggunaan model mempunyai tujuan tertentu, bukan untuk mengisi waktu dan mengurangi peran guru.
d.      Usahakan agar siswa sebanyak mungkin belajar dari model.
e.       Gunakan sejumlah model agar siswa dapat membandingkan satu sama lain.
f.        Jika menggunakan beberapa model hendaknya model itu satu sama lain berhubungan.
  1. Prestasi Belajar
Menurut Zainul (2004:1.6) Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda “prestatie” yang berarti hasil usaha atau hasil yang telah dicapai. Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh mahasiswa dari usaha belajarnya. Adapun perubahan dalam pola perilaku menandakan telah terjadi belajar. Perubahan yang diperoleh tersebut dinamakan hasil belajar. Prestasi belajar merupakan perwujudan dari hasil belajar.
Sedangkan Briggs (dalam Zainul, 2004:1.9) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah keseluruhan kecakapan dan hasil yang dicapai melalui proses belajar di sekolah yang dinyatakan dengan nilai berdasarkan tes hasil belajar. Prestasi dapat dikatakan sebagai hasil yang telah dicapai oleh siswa dalam belajar.
Winkel (dalam Zainul, 2004:1.9) memberikan arti yang hampir sama bahwa prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang dapat dicapai. Prestasi belajar dapat dilihat dari perubahan-perubahan dalam pengertian, pengalaman keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan berbekas. Perubahan ini dapat berupa sesuatu yang baru atau penyempurnaan sesuatu hal yang telah dimiliki atau dipelajari sebelumnya.
Dalam Taksonomi Bloom, prestasi belajar terdiri dari tiga aspek, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor.
a.    Aspek kognitif
Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan intelektual. Ada enam tingkatan aspek kognitif dari yang sederhana sampai yang kompleks yaitu: (1) pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan mengingat materi pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya, (2) pemahaman (comprehensif) yaitu kemampuan memahami hubungan antara fakta-fakta atau konsep, (3) aplikasi (application), yaitu kemampuan menggunakan materi pelajaran yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau konkret, (4) analisis (analysis), yaitu  kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat dimengerti, (5) sintesis (synthesis), yaitu kemampuan menghimpun bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan, dan (6) evaluasi (evaluation), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu.
b.    Afektif
Aspek afektif, berhubungan dengan perhatian, sikap dan nilai. Aspek ini mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana ke yang kompleks yaitu: (1) penerimaan (receiving phenomena), merupakan kepekaan menerima rangsangan (stimulus) baik berupa situasi maupun gejala, (2) partisipasi (responding to phenomena), berkaitan dengan reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang, (3) penilaian atau penentuan sikap (valuing), berkaitan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang datang, (4) organisasi (organization), yaitu penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda berdasarkan suatu sistem nilai tertentu yang lebih tinggi, (5) karakteristik dari nilai atau pembentukan pola hidup (internalizing value), merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
c.    Psikomotor
Aspek psikomotor, meliputi keterampilan motorik dan gerak fisik. Aspek psikomotor mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana ke yang kompleks yaitu: (1) persepsi (perception), berkaitan dengan penggunaan indera dalam melakukan kegiatan, (2) kesiapan (set), berkaitan dengan kesiapan melakukan suatu kegiatan baik secara mental, fisik maupun emosional, (3) respon terbimbing (guided respons), yaitu mengikuti atau mengulangi perbuatan yang diperintahkan oleh orang lain, (4) mekanisme (mechanism), berkaitan dengan penampilan respons yang sudah dipelajari, (5) gerakan kompleks atau kemahiran (complex overt respons), berkaitan dengan gerakan motorik yang terampil, (6) adaptasi (adaptation), berkaitan dengan keterampilan yang sudah berkembang di dalam diri individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pola gerakannya, (7) keaslian (origination), merupakan kemampuan menciptakan pola gerakan baru sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan  bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar dalam kontek penelitian ini adalah keseluruhan kecakapan dan hasil diperoleh mahasiswa dari usaha belajarnya (meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor) yang dinyatakan dengan nilai berdasarkan pengukuran hasil belajar. Prestasi belajar dapat dilihat dari perubahan-perubahan dalam pengertian, pengalaman keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan berbekas. Suatu proses belajar dikatakan berhasil baik apabila dapat menghasilkan prestasi belajar yang baik pula.
Menurut Zainul (2004:1.14) Prestasi belajar mepunyai beberapa fungsi utama antara lain:(1) prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai mahasiswa, (2) prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu mahasiswa, (3) prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, (4) prestasi belajar sebagai indikator produktivitas atau kualitas suatu institusi pendidikan, dan (5) prestasi belajar dapat dijadikan indikator kecerdasan siswa.
Jadi, prestasi belajar tidak hanya berfungsi sebagai indikator keberhasilan  dalam belajar bidang tertentu saja, tetapi juga berfungsi sebagai indikator kualitas institusi pendidikan.
Untuk mengetahui sejauhmana kegiatan belajar dilaksanakan dalam upaya mencapai tujuan dan memenuhi target yang telah ditentukan, maka perlu adanya kegiatan evaluasi belajar. Zainul (2004:6.14) mengemukakan bahwa evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan mahasiswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program pembelajaran. Hasil dari kegiatan evaluasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai prestasi belajar. Lebih lanjut Zainul (2004:1.17) menuliskan bahwa pengukuran prestasi belajar dapat dilakukan dengan penilaian hasil belajar secara menyeluruh.
“Penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan instrumen tes maupun  nontes. Jadi, maksud dari penilaian adalah memberi nilai tentang hasil belajar, pengukuran prestasi belajar dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif”

Pengukuran kuantitatif yang digunakan untuk melakukan evaluasi biasanya berupa tes. Tes prestasi belajar berupa sekumpulan soal-soal dari materi pelajaran tertentu. Mutu informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran ditentukan oleh mutu setiap soal yang digunakan. Oleh karena itu, soal yang digunakan harus diuji kualitasnya. Agar dapat memberikan gambaran atau akurat, tes prestasi belajar dituntut untuk memenuhi segala persyaratan sebagai alat ukur yang baik.
  1. Motivasi Belajar
Secara umum banyak yang mengaitkan motivasi belajar dengan minat. Minat merupakan aspek penting motivasi yang mempengaruhi perhatian, belajar, berpikir, dan berprestasi (Pintrich dan Schunk dalam Mikarsa, dkk. 2007:33). Menurut Krapp, Hidi dan Remninger seperti dikutip Mikarsa, dkk. (2007:35) "Minat merupakan dorongan dari dalam diri seseorang atau faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara selektif, yang menyebabkan dipilihnya suatu objek yang menguntungkan, menyenangkan, dan lama kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya".
Menurut Krapp, Hidi dan Remninger (dalam Mikarsa, dkk. 2007:35) ada 3 macam minat yang dapat membangkitkan motivasi belajar:
a.    Minat pribadi: sebagai suatu ciri pribadi individu yang merupakan disposisi abadi yang relatif stabil.
b.    Minat situasional: minat yang ditimbulkan oleh kondisi atau oleh faktor lingkungan.
c.    Minat sebagai keadaan psikologis: menggambarkan pandangan yang interaktif, pada saat minat pribadi seseorang saling berinteraksi dengan lingkungan untuk menghasilkan suatu keadaan psikologis dari minat pada diri seseorang.
Menurut Hurlock seperti yang dikutip Mikarsa, dkk. (2007:3.7) ada empat cara minat mempengaruhi motivasi belajar anak, yaitu:
a.       Minat dapat mempengaruhi bentuk dan intensitas aspirasi.
b.      Minat dapat sebagai pendorong.
c.       Minat berpengaruh pada prestasi.
d.      Minat yang berhubungan pada masa kanak-kanak dapat menjadi minat selamanya.
Seorang anak tidak lahir dengan minat tertentu. Minat berkembang melalui pengalaman belajar. Seorang guru harus dapat menumbuhkan minat anak, agar perkembangan minatnya sejalan dengan meluasnya cakrawala mental anak.

B.     Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir untuk penelitian ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
 























Gambar 2.3. Bagan kerangka berpikir
Untuk lebih jelasnya dapat dipaparkan sebagai berikut:
      Penerapan model pembelajaran aktif dengan peraga maket terhadap kemudahan siswa dalam memahami materi.
Menurut Belen (17-18) suasana pembelajaran aktif adalah suasana pembelajaran yang membuat siswa melakukan pengalaman, interaksi, komunikasi dan refleksi. Melalui model ini anak akan belajar banyak melalui berbuat dan mengaktifkan lebih banyak indera. lebih banyak. Sedangkan mengenai ruang kelas yang menunjang belajar aktif, Belen (2003:20) merekomendasikan sebagai berikut yaitu: (1) Berisi banyak sumber, (2) Berisi banyak alat bantu belajar dan alat peraga, (3) Berisi banyak hasil kerja siswa. Kehadiran maket gerhana dalam pembelajaran jelas merupakan bagian yang terintegrasi dalam pembelajaran model ini. Kolaborasi antara model yang sesuai dengan karakteristik belajar sains dan media pembelajaran yang real ini diduga akan dapat membantu mempermudah siswa dalam memahami materi.
      Penerapan model pembelajaran aktif dengan peraga maket terhadap prestasi belajar siswa.
Menurut Belen (2003:13-17) ada tiga alasan mengapa pembelajaran aktif diterapkan yaitu: (1) Karakteristik anak, pada dasarnya anak dilahirkan dengan memiliki sifat ingin tahu dan imajinasi. Anak desa, anak kota, anak miskin, anak kaya, anak Indonesia atau bukan, semuanya selama normal mereka memiliki kedua hal tersebut. Sifat ingin tahu merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap kritis dan imajinasi bagi perilaku kreatif (2) Hakekat belajar, belajar adalah proses menemukan dan mengembangkan makna/pengertian oleh siswa terhadap informasi dan pengalaman, yang disaring melalui persepsi, perkiraan, dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, (3) Karakteristik lulusan yang dikehendaki, agar mampu bertahan dan berhasil dalam hidup, lulusan yang diinginkan adalah generasi yang peka, mandiri dan bertanggung jawab.
Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses pembelajaran, keberadaan peraga maket  jelas akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Pemilihan model dan media yang tepat ini diduga akan sangat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan objek yang diamatinya. Keadaan ini  akan memberikan korelasi positif terhadap  prestasi belajar siswa.
      Penerapan model pembelajaran aktif dengan peraga maket terhadap motivasi belajar siswa.
Menurut Belen (2003:12) model pembelajaran aktif adalah cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan membangun makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi yang dilakukan oleh pengajar. Model pembelajaran ini juga menganggap mengajar sebagai kegiatan menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa sehingga mereka berkeinginan terus untuk belajar seumur hidupnya dan tidak tergantung terhadap guru/orang lain bila mereka mempelajari hal-hal baru, karena pada dasarnya anak dilahirkan dengan memiliki sifat ingin tahu dan imajinasi. Anak desa, anak kota, anak miskin, anak kaya, anak Indonesia atau bukan, semuanya selama normal mereka memiliki kedua hal tersebut. Sifat ingin tahu merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap kritis dan imajinasi bagi perilaku kreatif dan semua ini diduga akan menjadi faktor eksrinsik yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

C.    Hipotesis Tindakan
Berdasarkan paradigma dari kerangka pikir di atas, dapat diturunkan hipotesis tindakan sebagai berikut:
1.      Penggunaan peraga maket dalam model pembelajaran aktif akan dapat mempermudah siswa dalam memahami  materi gerhana.
2.      Penggunaan peraga maket dalam model pembelajaran aktif akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, baik secara individual maupun klasikal.
3.      Penggunaan peraga maket dalam model pembelajaran aktif akan dapat meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran sains.

D.    Indikator  Kinerja dan Kriteria Keberhasilan
Indikator kinerja merupakan atribut atau tanda-tanda yang teridentifikasi yang dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan kinerja setelah tindakan perbaikan dilakukan.
Indikator yang digunakan untuk mengetahui tindakan yang dilakukan dapat mempermudah siswa dalam memahami materi pelajaran adalah: respon, tanggapan, dan opini siswa.
Indikator yang digunakan untuk mengukur  peningkatan prestasi belajar siswa adalah peningkatan peningkatan rata-rata nilai secara klasikal dan angka ketuntasan belajar siswa. Siswa dinyatakan tuntas belajar jika telah mencapai tingkat pemahaman materi  di atas 65% yang ditunjukkan dengan perolehan nilai formatif > KKM (65)
Sedangkan indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan motivasi belajar adalah:
1.      Respon siswa terhadap penjelasan dan atau pertanyaan yang disampaikan guru.
2.      Unjuk kerja siswa selama proses pembelajaran berlangsung, baik secara individual maupun dalam mekanisme kerja kelompok.
3.      Kinerja siwa dalam menyikapi  tugas yang diberikan guru.
4.      Rasa ingin tahu dan keaktifan dalam mencari sumber dan informasi yang berkaitan dengan pembelajaran.
Kriteria keberhasilan adalah patokan normatif yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan tindakan. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.      Tindakan yang dilakukan dikatakan membantu mempermudah siswa dalam memahami materi jika minimal 95% dari jumlah siswa, menunjukan respon, tanggapan dan opini yang menunjukan kesetujuannya.
2.      Tindakan yang dilakukan dinyatakan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa jika ada peningkatan nilai rata-rata klasikal dari pembelajaran sebelumnya, serta minimal 95% dari jumlah siswa tuntas dalam belajar.
Tindakan yang dilakukan dinyatakan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa jika 95% dari  jumlah siswa minimal menunjukkan 3 indikator dari 4 indikator yang dipersyaratkan.

0 Response to "Contoh PTK IPA Kelas VI SD BAB II SDN Tambakreja"

Post a Comment