BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
- Pembelajaran Sains
a. Pengertian dan Dimensi Umum Pembelajaran Sains
Cara pandang guru terhadap hakikat (esensi dan
karakteristik) pendidikan sains
akan mempengaruhi profil pembelajaran sains
yang diselenggarakan guru bersama siswanya. Oleh karenanya pemahaman yang benar
tentang karakteristik pendidikan sains
mutlak diperlukan guru. Karakteristik tersebut sekurang-kurangnya meliputi
pengertian dan dimensi (ruang lingkup) pendidikan sains.
Menurut Rustaman (2008:1) sains secara sederhana didefinisikan sebagai ilmu tentang
fenomena alam semesta. Dalam kurikulum pendidikan dasar terdahulu (1994),
dijelaskan pengertian sains sebagai
hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang
terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui
serangkaian proses ilmiah, antara lain penyelidikan, penyusunan, dan pengujian
gagasan-gagasan. Dalam kurikulum 2004, sains diartikan sebagai cara mencari tahu
secara sistematis tentang alam semesta.
Menurut Ristasa (2012:2) ucapan Einsten: "Science
is the atempt to make the chaotic diversity of our sense experience correspond
to a logically uniform system of thought", mempertegas bahwa sains merupakan suatu bentuk upaya
yang membuat berbagai pengalaman menjadi suatu sistem pola berpikir logis
tertentu, yang dikenal dengan istilah pola berpikir ilmiah.
Untuk membahas hakikat sains, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagaimana
dikemukakan oleh Hardy & Fleer (dalam Wenno,
2008:15-16) sehingga
memungkinkan para guru memahami sains
dalam perspektif yang lebih luas. Sekurang-kurangnya ada 7 ruang lingkup
pemahaman sains.
1) Sains sebagai kumpulan
pengetahuan
Sains sebagai kumpulan
pengetahuan mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains yang sangat luas. Sains
dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan
sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan yang sangat baru. Pengetahuan
tersebut berupa fakta, teori, dan generalisasi yang menjelaskan alam.
2) Sains sebagai suatu proses
penelusuran (investigation)
Sains sebagai suatu proses
penelusuran umumnya merupakan suatu pandangan yang menghubungkan gambaran sains
yang berhubungan dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Dalam
kategori ini sains dipandang sebagai sesuatu yang memiliki disiplin yang ketat,
objektif, dan suatu proses yang bebas nilai.
3) Sains sebagai kumpulan nilai
Sains sebagai kumpulan nilai
berhubungan erat dengan penekanan sains sebagai proses. Bagaimanapun juga,
pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat pada sains. Ini
termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu, dan keterbukaan.
4) Sains sebagai cara untuk
mengenal dunia
Proses sains dipengaruhi
oleh cara di mana orang memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Sains
dipertimbangkan sebagai suatu cara di mana manusia mengerti dan memberi makna pada
dunia di sekeliling mereka, selain juga merupakan salah satu cara untuk
mengetahui dunia beserta isinya dengan segala keterbatasannya.
5) Sains sebagai institusi
sosial
Ini berarti sains seharusnya
dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para profesional, yang melalui sains
mereka didanai, dilatih, dan diberi penghargaan akan hasil karya. Para ilmuwan
ini sangat terikat dengan kepentingan institusi, pemerintah, politik, bahkan
militer.
6) Sains sebagai hasil
konstruksi manusia
Pandangan ini menunjuk pada
pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dan suatu kebenaran ilmiah
mengenai hakikat semesta alam. Pengetahuan ilmiah ini tidak lain merupakan akumulasi
kebenaran. Hal pokok dalam pandangan ini adalah sains merupakan konstruksi
pemikiran manusia. Oleh karenanya, dapat saja apa yang dihasilkan sains
memiliki sifat bias dan sementara.
7) Sains sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari
Orang menyadari bahwa apa
yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi
oleh sains. Bukan saja pemakaian berbagai jenis, produk teknologi sebagai hasil
investigasi dan pengetahuan, melainkan pula cara bagaimana orang berpikir
mengenai situasi sehari-hari sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah (scientific
approach).
Berdasarkan
hasil analisis terhadap berbagai paparan para pakar tentang ruang lingkup sains, Ristasa (2012:5-7) mengkategorikan hakikat
pendidikan sains ke dalam tiga dimensi,
yaitu: (1) dimensi produk, (2) dimensi proses, dan (3) dimensi sikap.
Dimensi produk meliputi
konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori di dalam sains yang
merupakan hasil rekaan manusia dalam rangka memahami dan menjelaskan alam
bersama dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Produk Sains
(konsep, prinsip, hukum, dan teori) tidak diperoleh berdasarkan fakta semata, tetapi
berdasarkan data yang telah
diuji melalui serangkaian eksperimen dan penyelidikan. Fakta adalah fenomena
alam yang berhasil diobservasi tetapi masih memungkinkan adanya perbedaan
persepsi di antara pengamat (pelaku observasi). Fakta yang diapersepsi sama
oleh setiap observer disebut data. Bertumpu pada sekumpulan data yang sahih
itulah suatu fenomena dalam diabstraksikan ke dalam bentuk konsep. Secara
sederhana ada tiga jenis konsep: konsep teramati, konsep terdefinisi, dan
konsep menyatakan hubungan. Kursi dan ruang kelas adalah contoh konsep
teramati. Kita dapat memahaminya semata-mata dengan menyaksikan bentuk
konkretnya, dan bukan mendefinisikannya. Energi, medan, suhu adalah contoh konsep
menyatakan hubungan. Carin (1993:4) mengajukan tiga kriteria bagi suatu produk sains
yang benar. Ketiga kriteria tersebut adalah: (1) mampu menjelaskan fenomena
yang telah diamati atau telah terjadi; (2) mampu memprediksi peristiwa yang
akan terjadi; (3) mampu diuji dengan eksperimen sejenis.
Dimensi proses, yaitu metode
memperoleh pengetahuan, yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ini dalam Sains
sekarang merupakan gabungan antara metode induksi dan metode deduksi. Metode
gabungan ini merupakan kegiatan beranting antara deduksi dan induksi, di mana
seorang peneliti mula-mula menggunakan metode induksi dalam menghubungkan
pengamatan dengan hipotesis. Kemudian, secara deduksi hipotesis ini dihubungkan
dengan pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasinya. Setelah
melewati berbagai perubahan yang dinilai perlu, hipotesis ini kemudian diuji
melalui serangkaian data yang dikumpulkan secara empiris.
Metode ilmiah dalam proses sains
memiliki kerangka dasar prosedur yang dapat dijabarkan dalam enam langkah: (1)
sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan dan pengumpulan
data yang relevan; (3) pengklasifikasian data; (4) perumusan hipotesis; (5)
pengujian hipotesis; dan (6) melakukan generalisasi. Pada tahap-tahap tersebut
terdapat aktivitas-aktivitas yang secara umum bisa, dilakukan oleh para
peneliti, yang dikenal dengan keterampilan proses, yaitu: melakukan observasi,
mengukur, memprediksi, mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan, merumuskan
hipotesis, melakukan eksperimen, menganalisis data, dan mengkomunikasikan hasil
penelitian. Dalam pengajaran sains, aspek proses ini muncul dalam bentuk
kegiatan belajar mengajar. Ada atau tidaknya aspek proses ini sangat bergantung pada
guru.
Dimensi sikap ilmiah adalah
berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh seorang
ilmuwan khususnya ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru. Sikap
dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, seperangkat sikap
yang bila diikuti akan membantu proses pemecahan masalah; dan kedua,
seperangkat sikap tertentu yang merupakan cara memandang dunia, serta berguna
bagi pengembangan karir di masa yang akan datang. Termasuk ke dalam kelompok
pertama, antara lain adalah:
1)
kesadaran akan perlunya bukti ketika mengemukakan
suatu pernyataan;
2)
kemauan untuk mempertimbangkan
interpretasi/pandangan lain;
3)
kemauan melakukan eksperimen atau kegiatan
pengujian lainnya secara berhati-hati; dan
4)
menyadari adanya keterbatasan dalam penemuan
keilmuan.
Sedangkan sikap-sikap yang
termasuk kelompok kedua adalah:
1)
rasa ingin tahu terhadap dunia fisik/biologis dan
cara kerjanya;
2)
pengakuan bahwa sains dapat membantu memecahan
masalah-masalah individual dan global;
3)
memiliki rasa antusias untuk menguasai
pengetahuan dan metode ilmiah;
4)
pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan dalam masa
kini;
5)
mengakui sains merupakan hasil dan kebutuhan
aktivitas manusia.
Harlen (1987) dalam Teaching
and Learning Primary Science merekomendasikan sembilan sikap ilmiah
yang harus dikembangkan sejak dini pada siswa. Pengembangan sikap ilmiah ini
bukan melalui ceramah melainkan dengan memunculkannya ketika siswa terlibat
dalam kegiatan pemecahan masalah. Kesembilan sikap tersebut adalah:
1)
sikap ingin tahu (curiousity)
2)
sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
3)
sikap kerja sama (cooperation)
4)
sikap tidak putus asa (perseverance)
5)
sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness)
6)
sikap mawas diri (self critism)
7)
sikap bertanggung jawab (responsibility)
8)
sikap berpikir bebas (independence in
thinking)
9)
sikap kedisiplinan diri (self discipline)
Dari seluruh urian sains di
atas, kiranya cukup jelas bahwa pendidikan sains bukan sekedar berisi
rumus-rumus dan teori-teori melainkan suatu proses dan sikap ilmiah untuk
mendapatkan konsepkonsep ilmiah tentang alam semesta.
b. Pembelajaran Sains yang Efektif
Pembelajaran sains pada
jenjang pendidikan apapun dan dengan menggunakan pendekatan serta model apa pun
harus benar-benar ekfektif Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif
(Depdiknas, 2003:56) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai kegiatan
belajar mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta didik) serta mengacu
pada pencapaian kompetensi individual setiap peserta didik. Ada baiknya
jika guru yang akan merancang pembelajaran sains di SD memperhatikan tujuh ciri
utama pembelajaran efektif yang memberdayakan potensi siswa sebagaimana
diuraikan pada buku tersebut (Depdiknas, 2003:7-11). Ketujuh ciri itu adalah:
Pertama, berpijak pada
prinsip konstruktivisme. Pembelajaran beranjak dari paradigma guru yang
memandang bahwa belajar bukanlah proses siswa menyerap pengetahuan yang sudah
jadi bentukan guru, melainkan sebagai proses siswa membangun makna/pemahaman
terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses tersebut dapat dilakukan sendiri
oleh siswa atau bersama orang lain.
Kedua, berpusat pada siswa.
Siswa memiliki perbedaan satu sama lain. Siswa berbeda dalam minat, kemampuan,
kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar
dengan dengar-baca, siswa lain lebih mudah dengan melihat (visual), atau dengan
cara kinestetika (gerak). Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi
kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian
perlu beragam sesuai karaktenstik siswa. Pembelajaran perlu menempatkan siswa
sebagai subjek belajar. Artinya pembelajaran memperhatikan bakat, minat,
kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi belajar, dan latar belakang
sosial siswa. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan potensinya
secara optimal.
Ketiga, belajar dengan
mengalami, pembelajaran perlu menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan
sehari-hari dan atau dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah
dan prinsip ilmu yang dipelajari. Karena itu, semua siswa diharapkan memperoleh
pengalaman langsung melalui pengalaman inderawi yang memungkinkan mereka
memperoleh informasi dari melihat, mendengar, meraba/menjamah, mencicipi, dan
mencium. Dalam hal ini, beberapa topik tidak mungkin disediakan pengalaman
nyata, guru dapat menggantikannya dengan model atau situasi buatan dalam wujud
simulasi. Jika ini juga tidak mungkin, sebaiknya siswa dapat memperoleh
pengalaman melalui alat audio-visual (dengar-pandang). Pilihan pengalaman
belajar melalui kegiatan mendengar adalah pilihan terakhir.
Keempat, mengembangkan
keterampilan sosial, kognitif, dan emosional. Siswa akan lebih mudah membangun
pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau
guru. Dengan kata lain, membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi
dengan lingkungan sosialnya. Interaksi memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling
bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar
kelompok. Penyampaian gagasan oleh siswa dapat mempertajam, memperdalam,
memantapkan, atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan dari
siswa lain atau guru. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk
mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada siswa lain, guru
atau pihak-pihak lain. Dengan demikian, pembelajaran memungkinkan siswa
bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemauan, prestasi)
dan berlatih untuk bekerjasama. Artinya, pembelajaran perlu mendorong siswa
untuk mengembangkan empatinya, sehingga dapat terjalin
saling pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.
Kelima, mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan
fitrah berTuhan. Siswa dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi,
dan fitrah ber-Tuhan. Rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar untuk
peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sementara, rasa fitrah ber-Tuhan merupakan
embrio atau cikal bakal untuk bertaqwa kepada
Tuhan. Pembelajaran perlu mempertimbangkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan
fitrah ber-Tuhan agar setiap sesi kegiatan pembelajaran menjadi wahana untuk
memberdayakan ketiga jenis potensi inti.
Keenam, belajar sepanjang hayat. Siswa memerlukan
kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bisa bertahan (survive) dan
berhasil (sukses) dalam menghadapi setiap masalah sambil menjalani proses
kehidupan sehari-hari. Karena itu, siswa memerlukan fisik dan mental yang kokoh. Pembelajaran perlu mendorong siswa
untuk dapat melihat dirinya secara positif, mengenali dirinya baik kelebihan
maupun kekurangannya untuk kemudian dapat mensyukuri apa yang telah
dianugerahkan Tuhan YME kepadanya.
Demikian pula pembelajaran perlu membekali siswa dengan keterampilan belajar,
yang meliputi pengembangan rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami
orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama supaya mendorong dirinya
untuk senantiasa belajar, baik secara
formal di sekolah maupun secara informal di luar kelas.
Ketujuh, perpaduan
kemandirian dan kerjasama. Siswa perlu berkompetisi, bekerjasama, dan
mengembangkan solidaritasnya. Pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi sehat untuk memperoleh
penghargaan, bekerjasama, dan solidantas. Pembelajaran perlu menyediakan tugas-tugas
yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri.
Pembelajaran sains yang
dirancang berdasarkan syarat-syarat pembelajaran efektif di atas, pada
pelaksanaannya akan menunjukkan tingginya kemampuan pembelajaran tersebut dalam
menyajikan karakteristik atau hakikat pendidikan sains di SD. Sebagaimana telah
disinggung di muka, karakteristik tersebut meliputi dimensi (ruang lingkup)
proses ilmiah, produk ilmiah dan sikap ilmiah.
Pembelajaran sains yang efektif
juga dicerminkan oleh tingginya kadar on-task
(aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task
(aktivitas non edukatif) siswa dalam pembelajaran. Menurut Belen (2003:42)
salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task
siswa adalah dengan mengembangkan kegiatan hand-on
(psikomotor) dan mind-on
(kognitif-afektif) melalui sejumlah keterampilan (skill) yang dilakukan siswa dalam kelas. Menurutn Belen, ada empat jenis keterampilan: keterampilan
laboratorium (laboratory skills),
keterampilan intelektual (intellectual
skills), keterampilan berpikir dasar (generic
thinking skills) dan keterampilan berkomunikasi (communications skills). Keempat jenis keterampilan ini tidak lain
merupakan pengelompokkan dari keterampilan proses sains yang sudah kita kenal.
Dalam penyelenggaraan
pembelajaran sains dengan pendekatan dan model apa pun guru harus tetap pro-aktif
sebagai fasilitator; mau memonitor seberapa besar kadar on-task siswa, seberapa banyak keterampilan dan sikap ilmiah siswa
yang dapat dikembangkan, dan sejauh mana konsep-konsep sains dikuasai dan
diimplementasikan siswa. Jika semua itu tercapai secara optimal, dapat dsainsstikan bahwa
pembelajaran sains yang diselenggarakan guru adalah pembelajaran sains yang
efektif. Salah satu sikap proaktif guru adalah sejak awal berusaha memahami
benar rambu-rambu pembelajaran sains dalam kurikulum.
- Model Pembelajaran Aktif
a. Pengertian model
pembelajaran aktif
Menurut Belen (2003:12) model
pembelajaran aktif adalah cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan
membangun makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi yang dilakukan
oleh pengajar. Model pembelajaran ini juga menganggap mengajar sebagai kegiatan
menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar
siswa sehingga mereka berkeinginan terus untuk belajar seumur hidupnya dan
tidak tergantung terhadap guru/orang lain bila mereka mempelajari hal-hal baru.
Menurut Belen (2003:13-17) ada
tiga alasan mengapa pembelajaran aktif diterapkan yaitu:
1) Karakteristik anak
Pada dasarnya anak
dilahirkan dengan memiliki sifat ingin tahu dan imajinasi. Anak desa, anak
kota, anak miskin, anak kaya, anak Indonesia atau bukan, semuanya selama normal
mereka memiliki kedua hal tersebut. Sifat ingin tahu merupakan modal dasar bagi
berkembangnya sikap kritis dan imajinasi bagi perilaku kreatif.
2) Hakekat belajar
Belajar adalah proses
menemukan dan mengembangkan makna/pengertian oleh siswa terhadap informasi dan
pengalaman, yang disaring melalui persepsi, perkiraan, dan perasaan siswa.
Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru.
Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa.
3) Karakteristik lulusan yang
dikehendaki
Agar mampu bertahan dan
berhasil dalam hidup, lulusan yang diinginkan adalah generasi yang:
a) Peka (berarti berpikir
tajam, kritis, dan tanggap terhadap pikiran dan perasaan orang lain).
b) Mandiri (berani dan mampu
bertindak tanpa selalu tergantung pada orang lain).
c) Bertanggung jawab (siap
menerima akibat dari keputusan dan tindakan yang diambil)
b. Suasana pembelajaran aktif
Menurut Belen (17-18)
suasana pembelajaran aktif adalah suasana pembelajaran yang membuat siswa
melakukan:
1) Pengalaman
Anak akan belajar banyak
melalui berbuat. Pengalaman langsung mengaktifkan lebih banyak indera dari pada
hanya melalui pendengaran. Mengenal ada benda diam, bergerak lambat, bergerak
cepat, melambung, dan menggelinding akan lebih mantap bila anak mencobanya
sendiri dari pada hanya menerima penjelasan guru.
2) Interaksi
Belajar akan terjadi dan
meningkat kualitasnya bila berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang
lain, saling bertanya dan mempertanyakan, dan/atau saling menjelaskan. Diskusi,
dialog atau bertukar gagasan akan membantu anak mengenal hubungan-hubungan baru
tentang sesuatu dan memiliki pemahaman yang lebih baik.
3) Komunikasi
Pengungkapan pikiran dan
perasaan, baik secara lisan maupun tertulis, merupakan kebutuhan setiap manusia
dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Pengungkapan
pikiran, baik dalam rangka mengemukakan gagasan sendiri maupun menilai gagasan
orang lain, akan memantapkan pemahaman seseorang tentang apa yang sedang
dipikirkan atau dipelajari.
4) Refleksi
Bila seseorang mengungkapkan
gagasan kepada orang lain dan mendapat tanggapan, maka orang itu akan
merenungkan kembali (refleksi) gagasannya yang lebih mantap. Refleksi dapat
terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi. Umpan balik dari guru
atau siswa lain terhadap hasil kerja siswa, yang berupa pertanyaan yang
menantang dapat menjadi pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang apa
yang sedang dipikirkan atau dipelajari.
Sesuai dengan pengertian
belajar aktif, yaitu menciptakan suasana dan mengembangkan inisiatif serta tanggung
jawab belajar siswa, maka sikap dan perilaku guru menurut Belen (2003:18)
sebaiknya:
1)
Terbuka dan mau mendengarkan pendapat siswa;
2)
Membiasakan siswa untuk mendengarkan bila guru
atau siswa lain berbicara/berpendapat;
3)
Menghargai perbedaan pendapat;
4)
Mentolelir kesalahan dan memotivasi untuk
memperbaiki;
5)
Menumbuhkah rasa percaya diri siswa;
6)
Memberi umpan balik kepada siswa;
7)
Memotivasi siswa untuk tidak takut salah dan
berani menanggung resiko.
Sedangkan mengenai ruang
kelas yang menunjang belajar aktif, Belen (2003:20) merekomendasikan sebagai
berikut yaitu:
Berisi banyak sumber belajar
seperti buku dan benda nyata;
Berisi banyak alat bantu
belajar seperti batu, lidi, tanaman, dan alat peraga.
Berisi banyak hasil kerja
siswa seperti lukisan, laporan percobaan, dan alat hasil percobaan;
Letak bangku dan meja diatur
sedemikian rupa sehingga siswa leluasa untuk bergerak.
Komponen-komponen
pembelajaran aktif dan pendukungnya dapat digambarkan dengan diagram sebagai
berikut:
Gambar 2.1. Komponen Belajar Aktif dan Pendukungnya dalam
Konteks PBM (Belen, 2003:21)
Berkaitan dengan
pembelajaran aktif ini, Magneson (dalam Ristasa, 2006:47) memberi gambaran tentang korelasi hasil belajar dengan
keterlibatan siswa, yaitu: 20% siswa belajar dari mendengarkan, 30% dari
membaca, 60% membaca dan mendengarkan,
70% dari berbuat, 90% dari berbuat dan mendengarkan. Hal senada juga
disampaikan Confisius (dalam Ristasa, 2006:46) "Saya mendengar maka
saya lupa, saya melihat maka saya ingat, saya berbuat dan melakukan maka saya
paham".
3. Media Pembelajaran
Penggunaan
media dalam pembelajaran diawali oleh
Komensky dalam bukunya Orbis Sensualium Pictus (dunia tergambar) yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 1657. Buku ini sebenarnya hanya buku
bergambar, tetapi pembuatannya telah menggunakan prinsip-prinsip yang modern.
Konsep dasar yang digunakan oleh Komensky berasal dari pernyataan Aristoteles,
“Nihil
est in intellect; quod non prius fuit in sensu". (tak ada
sesuatu dalam pikiran tanpa lebih dahulu melakukan penginderaan).
a. Pengertian Media
Pembelajaran
Menurut
Sanjaya (2009:163) kata media merupakan
kata jamak dari “medium” yang berarti berarti “tengah”, “perantara”, atau
“pengantar”. Kata media berlaku untuk berbagai kegiatan usaha.
Ada
beberapa konsep atau definisi tentang media. Henich et.al., (2002:1) mendefinisikan media sebagai
perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima.
Sementara
itu Sadiman (dalam Ristasa, 2012:84) mengartikan media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran,
perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga
proses belajar terjadi.
AECT
(Assciation of Education and Comunication Technology, 1977) memberi
batasan tentang media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan untuk
menyampaikan pesan atau informasi.
Media dalam konteks
pembelajaran diartikan
Djamarah (2006: 120) sebagai alat bantu belajar atau alat bantu pendidikan, maka secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun
peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan
keterampilan. Lebih lanjut Djamarah
mengatakan, dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang
cukup penting, karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan materi yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan
media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada anak
didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang
kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu.
Sementara itu Fleming (dalam
Ristasa, 2012:84) mengartikan
media pembelajaran sebagai saluran yang menyampaikan pesan dari sumber pesan
(guru) ke penerima pesan (siswa) sehingga dapat meningkatkan efektifitas
pembelajaran. Menurut Fleming,
media berfungsi untuk mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak yaitu
siswa dan isi pelajaran.
Berdasarkan beberapa definisi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa media
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari
pengirim ke
penerima, sedangkan media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim dalam hal ini pendidik
ke penerima dalam hal ini peserta didik,
sehingga
dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian peserta didik sedemikian rupa
sehingga proses belajar mengajar berjalan sesuai dengan tujuan.
b. Landasan penggunaan media
Menurut Henich et.al. (2002:5-9) ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan
media pembelajaran, antara
lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
1)
Landasan Filosofis
Banyak
orang yang berpendapat bahwa penerapan teknologi dalam pembelajaran di dalam
kelas, akan meyebabkan pembelajaran menjadi kurang manusiawi (dehumanisasi).
Akan tetapi, dengan bantuan berbagai media dalam pembelajaran akan
memungkinkan siswa dapat mempunyai
banyak pilihan untuk menggunakan media yang lebih sesuai dengan karakteristik
pribadinya. Dengan kata lain, siswa dihargai harkat kemanusiaannya, diberi kebebasan untuk menentukan pilihan baik cara
maupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya,
sehingga penerapan teknologi tidak berarti
dehumanisasi. Sebenarnya
perbedaan pendapat tersebut tidak perlu muncul, yang penting adalah pandangan
pendidik terhadap peserta didik dalam proses pembelajaran. Jika pendidik menganggap
peserta didik sebagai anak manusia yang memiliki kepribadian, harga diri,
motivasi, dan memiliki kemampuan pribadi yang berbeda dengan yang lain, maka
baik menggunakan media hasil teknologi baru atau tidak, proses pembelajaran
yang dilakukan akan tetap menggunakan pendekatan humanis”.
Pendapat
Henich tersebut mempertegas bahwa landasan filosofis media yakni memposisikan
manusia sebagai manusia, siswa dihargai harkat kemanusiaannya, diberi kebebasan
untuk menentukan pilihan baik cara ataupun alat belajar sesuai dengan kemampuannya.
2) Landasan Psikologis
Dengan
memperhatikan kompleks dan uniknya proses pembelajaran, maka ketepatan pemilihan media dan metode
pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab
itu, dalam pemilihan media, di samping memperhatikan kompleksitas dan keunikan
proses belajar, memahami makna, persepsi, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses
pembelajaran dapat berangsung secara efektif. Untuk maksud tersebut, perlu:
diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan objek yang diamatinya, dan
bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa.
Kajian psikologi menyatakan bahwa anak akan lebih
mudah mempelajari hal yang konkret ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan kontinum
konkret-abstrak
dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa pendapat. Pertama,
Jerome Bruner mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya
menggunakan urutan dari belajar dengan benda nyata/konkret (enactive), kemudian ke semi
konkret (iconic) baru ke abstrak
(symbolic). Menurut Bruner, hal ini juga
berlaku tidak hanya untuk anak tetapi juga untuk orang dewasa. Kedua, Edgar
Dale mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media
terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, Dale membuat
jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak
dengan dimulai dari peserta didik yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata,
kemudian menuju peserta didik sebagai pengamat
nyata, dilanjutkan ke peserta didik sebagai pengamat terhadap kejadian
yang disajikan dengan media, dan terakhir peserta didik sebagai pengamat
kejadian yang disajikan dengan simbol. Jenjang konkret-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk
kerucut pengalaman (cone of experiment), seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Konsep enaktif, ikonik, dan simbolik dari Bruner dan kerucut
pengalaman dari Dalejika disejajarkan menunjukkan
persamaannya, walaupun antara
keduanya sebenarnya terdapat perbedaan konsep (Heinich, et.al., 2002:12)
Dalam menentukan jenjang konkret ke abstrak antara Edgar Dale dan Bruner pada diagram
di atas jika disejajarkan menunjukkan persamaannya, walaupun antara keduanya sebenarnya terdapat perbedaan konsep.
Dale menekankan siswa sebagai pengamat kejadian sehingga menekankan stimulus
yang dapat diamati, Bruner menekankan pada proses operasi mental siswa pada
saat mengamati objek
3) Landasan Teknologis
Teknologi
pembelajaran adalah teori dan praktek
perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian proses dan
sumber belajar. Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan
terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk
menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan
mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu
mempunyai tujuan dan terkontrol. Lebih lanjut Heinich merekomendasikan bahwa dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah harus
dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen-komponen sistem pembelajaran yang
telah disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta
dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap.
Komponen-omponen ini termasuk pesan, orang, bahan, media, peralatan, teknik,
dan latar.
4) Landasan Empiris
Dari
hasil temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan
karakteristik belajar siswa dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya,
siswa akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan
menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya.
Siswa yang memiliki tipe belajar visual akan lebih memperoleh keuntungan bila
pembelajaran menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, atau
film. Sementara siswa yang memiliki tipe belajar audititorial, akan lebih suka
belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman suara, atau ceramah guru.
Akan lebih tepat dan menguntungkan siswa dari kedua tipe belajar tersebut jika
menggunakan media audio-visual. Berdasarkan landasan rasional empiris tersebut,
maka pemilihan media pembelajaran hendaknya jangan atas dasar kesukaan guru,
tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik pembelajar, karakteristik materi pelajaran, dan
karakteristik media itu sendiri.
c. Fungsi dan Manfaat Media
Pembelajaran
Menurut Susilana dan Riyana
(2009:8),
penggunaan media dalam pembelajaran memiliki beberapa fungsi, di antaranya :
1) Media
pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para
peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari
faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan
buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi
perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke objek langsung yang dipelajari, maka objeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Objek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model,
maupun bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
2) Media
pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin
dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek,
yang disebabkan, karena : (1) objek terlalu besar; (2) objek terlalu kecil; (3) objek yang bergerak terlalu lambat; (4) objek yang bergerak terlalu cepat; (5) objek yang terlalu kompleks; (6) objek yang bunyinya terlalu halus; (7) objek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui
penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
3) Media
pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan
lingkungannya.
4) Selain itu media juga memiliki fungsi yang lain yaitu:
dapat menghasilkan keseragaman pengamatan; dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkret, dan realistis; dapat membangkitkan keinginan dan minat baru;
dapat membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk
belajar; dan dapat memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari
yang konkret sampai dengan abstrak
Hampir sama dengan Susilana dan Riyana, Hamalik
(2008:34) menuliskan fungsi media pembelajaran sebagai berikut:
1)
Membuat konkret konsep-konsep yang
abstrak. Konsep-konsep
yang dirasakan masih bersifat abstrak dan sulit dijelaskan secara langsung
kepada siswa bisa dikonkretkan atau disederhanakan melalui pemanfaatan media pembelajaran.
Misalnya dalam mempelajari tentang arus listrik, yang tidak bisa dilihat tetapi
dapat dirasakan, pelajaran ini bersifat abstrak dan dapat dikonkretkan dengan
menggunakan media pelajaran salah satunya dengan model;
2) Menghadirkan objek-objek yang terlalu
berbahaya atau sukar didapat ke dalam
lingkungan belajar;
3)
Menampilkan objek yang terlalu besar
atau kecil. Misalnya
guru akan menjelaskan tentang atom, maka guru dapat menampilannya melalui media
pembelajaran seperti power point, gambar yang diperbesar dan lain-lain;
dan
4) Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat
atau lambat. Dengan menggunakan tekhnik gerakan lambat (slow motion)
dalam media film bisa memperlihatkan tentang lintasan peluru, melesatnya anak
panah, atau memperlihatkan suatu ledakan. Demikian juga untuk gerakan-gerakan
yang lambat.
Selain fungsi tersebut di atas, Susilana dan Riyana
(2007: 9) menuliskan, secara umum media mempunyai kegunaan atau manfaat sebagai berikut:
1)
Memperjelas
pesan agar tidak terlalu verbalistis;
2)
Mengatasi
keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indera;
3) Menimbulkan
gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar;
4)
Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai
dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya; dan
5) Memberi
rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang
sama.
d. Kriteria
Pemilihan Media
Tiap jenis media mempunyai karakteristik
atau sifat-sifat khas tersendiri. Artinya mempunyai kelebihan dan kekurangan
satu terhadap yang lain. Sifat-sifat
biasanya dipakai untuk menentukan kesesuaian penggunaan atau pemilihan
media. Menurut Sadiman (dalam Ristasa,
2012:91-92)), ada lima hal yang
biasanya menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan media, yaitu:
1)
Jangkauan, beberapa media tertentu
lebih sesuai untuk pengajaran individual misalnya buku teks, modul, program
rekaman interaktif (audio, video, dan program komputer). Jenis yang lain lebih sesuai
untuk pengajaran kelompok di kelas, misalnya media proyeksi (OHT, Slide, Film)
dan juga program rekaman (audio dan video). Ada juga yang lebih sesuai untuk
pengajaran massal , misalnya program siaran ( radio, televisi, dan konferensi
jarak jauh dengan audio).
2)
Keluwesan, dari segi keluwesan,
media ada yang praktis mudah dibawa kemana-mana, digunakan kapan saja, dan oleh siapa saja,
misalnya media cetak seperti buku teks, modul, diktat, dan lain-lain.
3)
Ketergantungan media, beberapa media
tergantung pemakaianya pada sarana/fasilitas tertentu atau hadirnya seorang
penyaji/guru.
4)
Atribut, penggunaan media juga
dapat dirasakan pada kemampuanya memberikan rangsangan suara, visual, warna
maupun gerak.
5)
Biaya, alasan lain untuk
menggunakan jenis media tertentu ialah karena murah biaya pengadaan atau
pembuatanya.
Sejalan dengan hal tersebut
di atas, Lebih lanjut Sadiman (dalam
Ristasa,2012:93-94) menuliskan
beberapa kriteria
media belajar dan pembelajaran yang baik antara lain:
1) Sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Media dipilih berdasarkan tujuan
instruksional yang telah ditetapkan baik dari segi kognitif, afektif, dan
psikomotor.
2) Media harus tepat untuk mendukung isi
pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau generalisasi.
3) Media harus praktis, luwes dan bertahan. Jika
tidak tersedia waktu, dana, atau sumber daya lainnya untuk memproduksi, tidak
perlu dipaksakan. Media yang mahal dan memakan waktu yang lama bukanlah
jaminan. Sebagai media yang terbaik. Sehingga guru/dosen dapat memilih media
yang ada, mudah diperoleh
dan mudah dibuat sendiri oleh guru/dosen. Media yang dipilih sebaiknya dapat
digunakan dimanapun dan kapanpun dengan peralatan yang ada di lingkungan
sekitarnya, dan mudah dibawa dan dipindahkan ke mana-mana.
4) Media
harus dapat digunakan guru dengan baik dan terampil. Apapun medianya,
guru/dosen harus mampu menggunakan dalam proses pembelajaran. Komputer,
proyektor transparansi (OHP), proyektor slide, dan film, dan peralatan canggih
lainnya tidak akan berarti apa-apa jika guru/dosen belum dapat menggunakannya
dalam proses belajar mengajar di kelas.
5) Mutu
teknis. Pengembangan visual baik gambar maupun fotografi harus memenuhi
persyaratan teknis tertentu. Misalnya visual pada slide harus jelas dan
informasi atau pesan yang ditonjolkan dan ingin disampaikan tidak boleh
terganggu oleh elemen lain yang berupa latar belakang.
6) Media
yang digunakan harus sesuai dengan taraf berfikir siswa atau siswa.
7) Media
yang digunakan harus dapat menunjang dan membantu pemahaman siswa/siswa
terhadap pelajaran tersebut sehingga proses pembelajan dapat berjalan dengan
lancar dan sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
d. Pengelompokan
media
Ada banyak media pembelajaran, mulai dari yang sangat sederhana
hingga kompleks dan rumit; mulai dari yang hanya menggunakan indera penglihat
hingga perpaduan lebih dari satu indra, dari yang murah dan tidak menggunakan
listrik hingga yang mahal dan sangat tergantung pada perangkat keras.
Pengelompokkan berbagai jenis media apabila dilihat dari segi
perkembangan teknologi oleh Seels dan Glasgow seperti yang dikutip Trihartanto
(2007:6) dibagi ke dalam dua kategori luas, yaitu
Pilihan media tradisional
a)
Visual diam
yang diproyeksikan (OHP, slide, video)
b)
Visual yang
tak diproyeksikan (gambar, poster, chart, grafik)
c)
Audio
(rekaman CD dan pita kaset)
d)
Penyajian
multimedia.
e)
Visual
dinamis yang diproyeksikan (film, televisi, video)
f) Media cetak (buku, koran, majalah, hand-out)
g)
Realiti
(model, specimen, contoh, manipulatif (peta, globe).
Pilihan media teknologi mutakhir
a) Media berbasis telekomunikasi (teleconference)
b) Media berbasis mikroprosesor (pembelajaran berbantuan komputer,
permainan komputer, pembelajaran interaktif).
Pengelompokkan media yang banyak dianut oleh para pengelola
pendidikan adalah seperti yang disampaikan oleh Kemp dan Dayton (Trihartanto,
2007:7) dikelompokkan menjadi delapan jenis vaitu: media cetak, media pajang,
OHT dan OHP, rekaman audiotape, slide dan filmstrip, penyajian multi-image,
rekaman video, dan film serta komputer.
- Maket
Gerhana
Dalam pembelajaran tidak senantiasa selalu dapat menggunakan
benda-benda yang sesungguhnya. Bisa saja digunakan benda pengganti dalam bentuk
sederhana, dengan menghilangkan bagian benda yang kurang perlu serta
menonjolkan bagian yang perlu saja. Benda-benda yang demikian disebut model
atau maket.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1985:589), model
atau maket diarikan sebagai barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa)
persis seperti yang ditiru. Besar model dapat sama, lebih kecil atau lebih
besar, tetapi bentuknya biasanya sama, seperti benda yang asli. Model terbagi
menjadi tiga jenis yaitu : solid model (menunjukkan bagian luar), cross
section model (menunjukkan struktur bagian dalam), working model (mendemontrasikan
fungsi atau proses). Sedangkan Replika (Purwadarminta, 1985:84) berarti
duplikat atau tiruan. Jadi model peraga replika gerhana atau maket gerhana ialah barang tiruan yang
kecil dengan bentuk persis yang ditiru untuk membelajarkan proses gerhana.
Model peraga replika gerhana menampilkan duplikat matahari, bumi
dan bulan yang ukurannya diperkecil dari yang sesungguhnya. Replika gerhana ini
terbuat dari tiga bola yang mempunyai ukuran berbeda. Bola besar yang di
dalamnya ada lampunya sebagai matahari, bola sedang (globe) sebagai bumi, dan
bola kecil sebagai bulan.
Bola besar dipasang pada kedudukan permanen, bola sedang dipasang
pada dudukan dan dihubungkan dengan katrol berklinden agar dapat bergerak pada
porosnya maupun bergerak mengelilingi bola besar (matahari). Bola kecil (bulan)
dipasang menempel pada katrol yang digunakan dudukan globe tanpa klinden
sehingga pada saat globe kecil mengelilingi bola besar (matahari),
bola kecil (bulan) ikut bergerak.
Model peraga replika gerhana, ini selain dapat digunakan
mendemontrasikan proses gerhana, juga dapat digunkan untuk mendemontrasikan
gerakan bumi dan gerakan bulan.
Menurut Hamalik (2008:24) hal-hal yang perlu diperhatikan agar
penggunaan model sebagai media dalam pembelajaran menjadi lebih efektif, yaitu:
a.
Bentuk dan
besarnya agar dapat dilihat oleh kelas.
b.
Jangan
terlalu banyak memberikan penjelasan agar konsentrasi siswa terfokus.
c.
Penggunaan
model mempunyai tujuan tertentu, bukan untuk mengisi waktu dan mengurangi peran
guru.
d.
Usahakan
agar siswa sebanyak mungkin belajar dari model.
e.
Gunakan
sejumlah model agar siswa dapat membandingkan satu sama lain.
f.
Jika
menggunakan beberapa model hendaknya model itu satu sama lain berhubungan.
- Prestasi Belajar
Menurut Zainul (2004:1.6) Kata prestasi berasal
dari bahasa Belanda “prestatie” yang berarti hasil usaha atau hasil yang
telah dicapai. Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh mahasiswa dari
usaha belajarnya. Adapun perubahan dalam pola perilaku menandakan telah terjadi
belajar. Perubahan yang diperoleh tersebut dinamakan hasil belajar. Prestasi
belajar merupakan perwujudan dari hasil belajar.
Sedangkan Briggs (dalam Zainul, 2004:1.9)
menyatakan bahwa prestasi belajar adalah keseluruhan kecakapan dan hasil yang
dicapai melalui proses belajar di sekolah yang dinyatakan dengan nilai
berdasarkan tes hasil belajar. Prestasi dapat dikatakan sebagai hasil yang
telah dicapai oleh siswa dalam belajar.
Winkel (dalam Zainul, 2004:1.9) memberikan arti
yang hampir sama bahwa prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang dapat
dicapai. Prestasi belajar dapat dilihat dari perubahan-perubahan dalam
pengertian, pengalaman keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan
berbekas. Perubahan ini dapat berupa sesuatu yang baru atau penyempurnaan
sesuatu hal yang telah dimiliki atau dipelajari sebelumnya.
Dalam Taksonomi Bloom, prestasi belajar terdiri
dari tiga aspek, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor.
a.
Aspek kognitif
Aspek kognitif berhubungan
dengan kemampuan intelektual. Ada enam tingkatan aspek kognitif dari yang
sederhana sampai yang kompleks yaitu: (1) pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan mengingat materi
pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya, (2) pemahaman (comprehensif)
yaitu kemampuan memahami hubungan antara fakta-fakta atau konsep, (3) aplikasi (application),
yaitu kemampuan menggunakan materi pelajaran yang sudah dipelajari ke dalam
situasi baru atau konkret,
(4) analisis (analysis), yaitu kemampuan menguraikan atau menjabarkan
sesuatu ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat
dimengerti, (5) sintesis (synthesis), yaitu kemampuan menghimpun
bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan, dan (6) evaluasi (evaluation), yaitu
kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu
berdasarkan kriteria tertentu.
b.
Afektif
Aspek afektif, berhubungan
dengan perhatian, sikap dan nilai. Aspek ini mempunyai lima tingkatan dari yang
sederhana ke yang kompleks yaitu: (1) penerimaan (receiving phenomena),
merupakan kepekaan menerima rangsangan (stimulus) baik berupa situasi maupun
gejala, (2) partisipasi (responding to phenomena), berkaitan dengan
reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang, (3) penilaian
atau penentuan sikap (valuing), berkaitan dengan nilai dan kepercayaan
terhadap gejala atau stimulus yang datang, (4) organisasi (organization),
yaitu penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda berdasarkan suatu sistem
nilai tertentu yang lebih tinggi, (5) karakteristik dari nilai atau pembentukan pola
hidup (internalizing value), merupakan keterpaduan semua sistem nilai
yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya.
c.
Psikomotor
Aspek psikomotor, meliputi
keterampilan motorik dan gerak fisik. Aspek psikomotor mempunyai lima tingkatan
dari yang sederhana ke yang kompleks yaitu: (1) persepsi (perception), berkaitan dengan
penggunaan indera dalam melakukan kegiatan, (2) kesiapan (set),
berkaitan dengan kesiapan melakukan suatu kegiatan baik secara mental, fisik
maupun emosional, (3) respon terbimbing (guided respons), yaitu mengikuti atau
mengulangi perbuatan yang diperintahkan oleh orang lain, (4) mekanisme (mechanism),
berkaitan dengan penampilan respons yang sudah dipelajari, (5) gerakan kompleks atau
kemahiran (complex overt respons), berkaitan dengan gerakan motorik yang
terampil, (6) adaptasi (adaptation), berkaitan dengan keterampilan yang
sudah berkembang di dalam diri individu sehingga yang bersangkutan mampu
memodifikasi pola gerakannya, (7) keaslian (origination), merupakan
kemampuan menciptakan pola gerakan baru sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar dalam kontek penelitian ini
adalah keseluruhan kecakapan dan hasil diperoleh mahasiswa dari usaha belajarnya (meliputi
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor) yang dinyatakan
dengan nilai berdasarkan pengukuran hasil belajar. Prestasi belajar dapat dilihat dari perubahan-perubahan dalam
pengertian, pengalaman keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan
berbekas. Suatu proses belajar dikatakan berhasil baik apabila dapat
menghasilkan prestasi belajar yang baik pula.
Menurut Zainul (2004:1.14) Prestasi belajar
mepunyai beberapa fungsi utama antara lain:(1) prestasi belajar sebagai
indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai mahasiswa, (2)
prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu mahasiswa, (3)
prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, (4) prestasi
belajar sebagai indikator produktivitas atau kualitas suatu institusi
pendidikan, dan (5) prestasi belajar dapat dijadikan indikator kecerdasan
siswa.
Jadi, prestasi belajar tidak hanya berfungsi
sebagai indikator keberhasilan dalam
belajar bidang tertentu saja, tetapi juga berfungsi sebagai indikator kualitas
institusi pendidikan.
Untuk mengetahui sejauhmana kegiatan belajar
dilaksanakan dalam upaya mencapai tujuan dan memenuhi target yang telah
ditentukan, maka perlu adanya kegiatan evaluasi belajar. Zainul (2004:6.14)
mengemukakan bahwa evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan
mahasiswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program
pembelajaran. Hasil dari kegiatan evaluasi tersebut dapat memberikan gambaran
mengenai prestasi belajar. Lebih lanjut Zainul (2004:1.17) menuliskan bahwa
pengukuran prestasi belajar dapat dilakukan dengan penilaian hasil belajar
secara menyeluruh.
“Penilaian
adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang
diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan instrumen tes
maupun nontes. Jadi, maksud dari
penilaian adalah memberi nilai tentang hasil belajar, pengukuran prestasi
belajar dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif”
Pengukuran kuantitatif yang digunakan untuk
melakukan evaluasi biasanya berupa tes. Tes prestasi belajar berupa sekumpulan
soal-soal dari materi pelajaran tertentu. Mutu informasi yang diperoleh dari
hasil pengukuran ditentukan oleh mutu setiap soal yang digunakan. Oleh karena
itu, soal yang digunakan harus diuji kualitasnya. Agar dapat memberikan
gambaran atau akurat, tes prestasi belajar dituntut untuk memenuhi segala
persyaratan sebagai alat ukur yang baik.
- Motivasi Belajar
Secara umum
banyak yang mengaitkan motivasi belajar dengan minat. Minat merupakan aspek penting motivasi yang
mempengaruhi perhatian, belajar, berpikir, dan berprestasi (Pintrich dan Schunk
dalam Mikarsa, dkk. 2007:33). Menurut Krapp, Hidi dan Remninger seperti dikutip
Mikarsa, dkk. (2007:35) "Minat merupakan dorongan dari dalam diri
seseorang atau faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara
selektif, yang menyebabkan dipilihnya suatu objek yang menguntungkan,
menyenangkan, dan lama kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya".
Menurut Krapp,
Hidi dan Remninger (dalam Mikarsa, dkk. 2007:35) ada 3 macam minat yang dapat
membangkitkan motivasi belajar:
a.
Minat pribadi: sebagai suatu ciri pribadi individu yang merupakan disposisi
abadi yang relatif stabil.
b.
Minat situasional: minat yang ditimbulkan oleh kondisi atau oleh faktor
lingkungan.
c.
Minat sebagai keadaan psikologis: menggambarkan pandangan yang interaktif,
pada saat minat pribadi seseorang saling berinteraksi dengan lingkungan untuk
menghasilkan suatu keadaan psikologis dari minat pada diri seseorang.
Menurut Hurlock
seperti yang dikutip Mikarsa, dkk. (2007:3.7) ada empat cara minat mempengaruhi
motivasi belajar anak, yaitu:
a. Minat dapat mempengaruhi bentuk dan intensitas
aspirasi.
b. Minat dapat sebagai pendorong.
c. Minat berpengaruh pada prestasi.
d. Minat yang berhubungan pada masa kanak-kanak dapat
menjadi minat selamanya.
Seorang anak
tidak lahir dengan minat tertentu. Minat berkembang melalui pengalaman belajar.
Seorang guru harus dapat menumbuhkan minat anak, agar perkembangan minatnya
sejalan dengan meluasnya cakrawala mental anak.
B. Kerangka
Berpikir
Kerangka
berpikir untuk penelitian ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 2.3. Bagan kerangka berpikir
Untuk lebih jelasnya dapat
dipaparkan sebagai berikut:
Penerapan model pembelajaran aktif dengan
peraga maket terhadap kemudahan siswa dalam memahami materi.
Menurut Belen (17-18)
suasana pembelajaran aktif adalah suasana pembelajaran yang membuat siswa
melakukan pengalaman, interaksi, komunikasi dan refleksi. Melalui model ini
anak akan belajar banyak melalui berbuat dan mengaktifkan lebih banyak indera.
lebih banyak. Sedangkan mengenai ruang kelas yang menunjang belajar aktif,
Belen (2003:20) merekomendasikan sebagai berikut yaitu: (1) Berisi banyak
sumber, (2) Berisi banyak alat bantu belajar dan alat peraga, (3) Berisi banyak
hasil kerja siswa. Kehadiran maket gerhana dalam pembelajaran jelas merupakan
bagian yang terintegrasi dalam pembelajaran model ini. Kolaborasi antara model yang
sesuai dengan karakteristik belajar sains dan media pembelajaran yang real ini
diduga akan dapat membantu mempermudah siswa dalam memahami materi.
Penerapan
model pembelajaran aktif dengan peraga maket terhadap prestasi belajar siswa.
Menurut Belen (2003:13-17) ada tiga alasan mengapa pembelajaran aktif
diterapkan yaitu: (1) Karakteristik anak, pada dasarnya anak dilahirkan dengan
memiliki sifat ingin tahu dan imajinasi. Anak desa, anak kota, anak miskin,
anak kaya, anak Indonesia atau bukan, semuanya selama normal mereka memiliki
kedua hal tersebut. Sifat ingin tahu merupakan modal dasar bagi berkembangnya
sikap kritis dan imajinasi bagi perilaku kreatif (2) Hakekat belajar, belajar
adalah proses menemukan dan mengembangkan makna/pengertian oleh siswa terhadap
informasi dan pengalaman, yang disaring melalui persepsi, perkiraan, dan
perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi
bentukan guru. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, (3) Karakteristik
lulusan yang dikehendaki, agar mampu bertahan dan berhasil dalam hidup, lulusan
yang diinginkan adalah generasi yang peka, mandiri dan bertanggung jawab.
Dengan
memperhatikan kompleks dan uniknya proses pembelajaran, keberadaan peraga maket jelas akan
sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar.
Pemilihan model dan media yang tepat ini diduga akan sangat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan objek yang diamatinya.
Keadaan ini akan memberikan korelasi
positif terhadap prestasi belajar siswa.
Penerapan model pembelajaran aktif dengan
peraga maket terhadap motivasi belajar siswa.
Menurut Belen (2003:12) model
pembelajaran aktif adalah cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan
membangun makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi yang dilakukan
oleh pengajar. Model pembelajaran ini juga menganggap mengajar sebagai kegiatan
menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar
siswa sehingga mereka berkeinginan terus untuk belajar seumur hidupnya dan
tidak tergantung terhadap guru/orang lain bila mereka mempelajari hal-hal baru,
karena pada dasarnya anak dilahirkan dengan memiliki sifat ingin tahu dan
imajinasi. Anak desa, anak kota, anak miskin, anak kaya, anak Indonesia atau
bukan, semuanya selama normal mereka memiliki kedua hal tersebut. Sifat ingin
tahu merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap kritis dan imajinasi bagi
perilaku kreatif dan semua ini diduga akan menjadi faktor eksrinsik yang dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa.
C. Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan paradigma dari kerangka
pikir di atas, dapat diturunkan hipotesis tindakan sebagai berikut:
1.
Penggunaan
peraga maket dalam model pembelajaran aktif akan dapat mempermudah siswa dalam memahami materi gerhana.
2.
Penggunaan
peraga maket dalam model pembelajaran aktif akan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa, baik secara individual maupun klasikal.
3.
Penggunaan
peraga maket dalam model pembelajaran aktif akan dapat meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran sains.
D. Indikator
Kinerja dan
Kriteria Keberhasilan
Indikator kinerja merupakan
atribut atau tanda-tanda yang teridentifikasi yang dapat digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya perubahan kinerja setelah tindakan perbaikan
dilakukan.
Indikator yang
digunakan untuk mengetahui tindakan yang dilakukan
dapat mempermudah siswa dalam memahami materi pelajaran
adalah: respon, tanggapan, dan opini siswa.
Indikator yang
digunakan untuk mengukur peningkatan prestasi
belajar siswa adalah peningkatan peningkatan
rata-rata nilai secara klasikal dan angka ketuntasan belajar siswa. Siswa dinyatakan tuntas belajar
jika telah mencapai tingkat pemahaman materi di atas 65% yang ditunjukkan dengan perolehan
nilai formatif > KKM (65)
Sedangkan
indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan motivasi belajar adalah:
1.
Respon
siswa terhadap penjelasan dan atau pertanyaan yang disampaikan guru.
2.
Unjuk
kerja siswa selama proses pembelajaran berlangsung, baik secara individual maupun dalam
mekanisme kerja kelompok.
3.
Kinerja
siwa dalam menyikapi tugas yang diberikan guru.
4.
Rasa ingin tahu dan keaktifan dalam mencari sumber dan informasi yang berkaitan
dengan pembelajaran.
Kriteria keberhasilan adalah patokan normatif yang digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan tindakan. Kriteria yang
digunakan adalah sebagai
berikut:
1.
Tindakan yang dilakukan dikatakan membantu
mempermudah siswa dalam memahami materi jika minimal 95% dari
jumlah siswa, menunjukan respon, tanggapan dan opini yang menunjukan
kesetujuannya.
2.
Tindakan yang dilakukan dinyatakan dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa jika ada peningkatan nilai rata-rata klasikal dari pembelajaran sebelumnya, serta minimal 95% dari jumlah
siswa tuntas dalam belajar.
Tindakan yang dilakukan dinyatakan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa jika 95% dari jumlah siswa minimal menunjukkan 3 indikator dari 4 indikator yang dipersyaratkan.
0 Response to "Contoh PTK IPA Kelas VI SD BAB II SDN Tambakreja"
Post a Comment