BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Mengajar tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan
kepada peserta didik, melainkan juga merupakan kegiatan guru membimbing dan memfasilitasi
siswa menemukan pengetahuan dan pengalaman belajar tersebut.
Menurut Belen (2003:17) dalam mengajar terkandung
pesan mengembangkan potensi siswa yang beraneka ragam dan bukan menjadikan
siswa sebagai penerima/konsumen pasif pengetahuan yang ada dalam benak guru.
”Mengajar juga
bukanlah sekedar mempersiapkan siswa menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN),
Ujian Akhir Sekolah (UAS), atau pun tes masuk jenjang sekolah berikutnya.
Tujuan hakiki mengajar, menurut adalah mempersiapkan siswa untuk paling tidak
dapat bertahan hidup di masa datang dan berbuat banyak bagi orang lain. Mengajar
bukan pula mempersiapkan siswa memiliki apa yang akan “ditagih” dalam UAN dan
UAS. Melainkan apa yang ditagih dalam kehidupan. Hasil UAN dan UAS tidak banyak
mencerminkan apa yang ditagih dalam kehidupan, yaitu bersikap peka, kritis,
kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab”.
Demikian juga halnya dengan pembelajaran sains, guru
dituntut untuk mampu membelajarkan sains sesuai dengan hakikat pendidikan sains.
Menurut Ristasa (2012:2) cara pandang guru
terhadap hakikat (esensi dan karakteristik) pendidikan sains, akan sangat
mempengaruhi profil pembelajaran yang diselenggarakanya.
“ Pemahaman yang
benar terhadap karakteristik sains, sangat mutlak
diperlukan guru mata pelajaran tersebut, karena cara pandang guru terhadap
karakteristik pendidikan sains akan mempengaruhi
profil pembelajaran yang diselenggarakannya. Karakteristik tersebut sekurang
kurangnya meliputi pengertian dan dimensi (ruang lingkup) pendidikan sains”
Menurut Rustaman (2008:1), sains secara sederhana
didefinisikan sebagai ilmu tentang fenomena alam semesta. Dalam kurikulum Pendidikan Dasar tahun 1994, pengertian sains dituliskan sebagai hasil kegiatan
manusia berupa pengetahun, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam
sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah
antara lain penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan-gagasan. Sedangkan
dalam kurikulum Pendidikan Dasar tahun 2004, sains diartikan sebagai cara
mencari tahu secara sistematis tentang alam semesta. Menurut Ristasa (20112:3),
ucapan Einstein,“Scienceis the atempt to make the chaotic diversity of our
sense experience correspond to a logically uniform system of thought”,
mempertegas bahwa sains merupakan suatu bentuk upaya yang membuat berbagai
pengalaman menjadi suatu sistem pola berpikir yang logis tertentu, yang dikenal
dengan istilah pola berpikir ilmiah.
Untuk membahas hakikat sains, menurut Hardy & Fleer (dalam Wenno,
2008:15-16), ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sehingga memungkinkan para guru/dosen mata kuliah ini memahami sains dalam perspektif yang
lebih luas. Menurut mereka, sekurang-kurangnya ada tujuh ruang lingkup
pemahaman sains sebagaimana berikut: (1) sains sebagai kumpulan pengetahuan,
(2) sains sebagai suatu proses penelusuran, (3) sains sebagai kumpulan nilai,
(4) sains sebagai cara untuk mengenal dunia, (5) sains sebagai institusi
sosial, (6) sains
sebagai hasil konstruksi manusia, dan (7) sains sebagai bagian dari kehidupan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap
berbagai paparan para pakar tentang ruang lingkup sains, Ristasa (2012:5-7) mengkategorikan hakikat
pendidikan sains ke dalam tiga dimensi,
yaitu: (1) dimensi produk, (2) dimensi proses, dan (3) dimensi sikap.
Dimensi produk meliputi: konsep-konsep,
prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori di dalam sains yang merupakan
hasil rekaan manusia dalam rangka memahami dan menjelaskan alam beserta berbagai fenomena yang
terjadi di dalamnya. Produk sains (konsep, prinsip, hukum dan teori) tidak
diperoleh berdasarkan fakta semata, melainkan berdasarkan data yang telah
teruji melalui serangkaian eksperimen dan penelitian. Fakta adalah fenomena alam yang
berhasil diobservasi tetapi masih memungkinkan adanya perbedaan persepsi di
antara pengamat (pelaku observasi). Fakta yang dipersepsi sama oleh setiap
observer disebut data. Bertumpu pada sekumpulan data yang sahih itulah suatu
fenomena alam diabstraksikan ke dalam bentuk konsep.
Secara sederhana ada tiga jenis konsep:
konsep teramati, konsep terdefinisi, dan konsep yang menyatakan hubungan. Kursi
dan ruang kelas adalah contoh konsep teramati. Kita dapat memahaminya
semata-mata dengan menyaksikan bentuk konkretnya, dan bukan mendefinisikannya.
Energi, medan, suhu adalah contoh konsep terdefinisi. Sedangkan rumus-rumus dan
kalimat matematika adalah contoh konsep yang menyatakan hubungan.
Carin & Sund (1989:4) mengajukan
tiga kriteria bagi suatu produk sains yang benar. Ketiga kriteria tersebut
adalah: (1) mampu menjelaskan fenomena yang telah diamati atau telah terjadi;
(2) mampu memprediksi peristiwa yang akan terjadi; dan (3) mampu diuji dengan
eksperimen sejenis.
Dimensi proses, yaitu metode untuk memperoleh pengetahuan,
yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ini dalam sains sekarang merupakan
gabungan antara metode induksi dan metode deduksi. Metode gabungan ini
merupakan kegiatan beranting antara deduksi dan induksi, dimana seorang
peneliti mula-mula menggunakan metode induksi dalam menguhubungkan pengamatan
dengan hipotesis. Kemudian, secara deduksi hipotesis ini dihubungkan dengan
pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasinya. Setelah melewati
berbagai perubahan yang dinilai perlu, hipotesis ini kemudian diuji melalui
serangkaian data yang dikumpulkan secara empiris.
Metode ilmiah dalam proses sains
memiliki kerangka dasar prosedur yang dapat dijabarkan dalam enam langkah: (1)
sadar akan adanya masalah dan merumusan masalah, (2) pengamatan dan pengumpulan
data yang relevan, (3) pengklasifikasian data, (4) perumusan hipotesis, (5)
pengujian hipotesis, dan (6) melakukan generalisasi. Pada tahap-tahap tersebut
terdapat aktivitas-aktivitas yang secara umum biasa dilakukan oleh para
peneliti, yang dikenal dengan keterampilan proses, yaitu: melakukan observasi,
mengukur, memprediksi, mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan, merumuskan
hipotesis, melakukan eksperimen, menganalisis data, dan mengkomunikasikan hasil
penelitian. Pada pengajaran sains, aspek proses ini muncul dalam bentuk
kegiatan belajar mengajar. Ada tidaknya aspek proses ini sangat bergantung pada
guru.
Dimensi sikap ilmiah adalah berbagai
keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuwan
khususnya ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru. Sikap dapat
diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, seperangkat sikap yang bila
diikuti akan membantu proses pemecahan masalah; dan kedua, seperangkat sikap
tertentu yang merupakan cara memandang dunia serta berguna bagi pengembangan
karir di masa yang akan datang.
Menurut Rustaman (2008:12), yang
termasuk ke dalam kelompok pertama, antara lain: (1) kesadaran akan perlunya
bukti ketika mengemukakan suatu pernyataan, (2) kemauan untuk mempertimbangkan
interpretasi/pandangan lain, (3) kemauan melakukan eksperimen atau kegiatan
pengujian lainnya secara berhati-hati, dan (4) menyadari adanya keterbatasan
dalam penemuan keilmuan. Sedangkan sikap-sikap yang termasuk kelompok kedua
adalah: (1) rasa ingin tahu terhadap dunia fisik/biologis dan cara kerjanya,
(2) pengakuan bahwa sains dapat membantu pemecahan masalah-masalah individual
dan global, (3) memiliki rasa antusias untuk menguasi pengetahuan dan metode
ilmiah, (4) pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan dalam masa kini, dan (5)
mengakui sains merupakan hasil dan kebutuhan aktivitas manusia.
Harlen (1992:34) dalam bukunya The Teaching of
Science menuliskan sembilan sikap ilmiah yang
harus dikembangkan sejak dini. Pengembangan sikap ilmiah ini bukan melalui
ceramah melainkan dengan memunculkannya ketika siswa/siswa
terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah. Kesembilan sikap tersebut adalah:
(1) sikap ingin tahu (curiousity), (2) sikap ingin mendapatkan sesuatu
yang baru (originality), (3) sikap kerja sama (cooperation), (4)
sikap tidak putus asa (perseverance), (5) sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness),
(6) sikap mawas diri (self critism), (7) sikap bertanggung jawab (responsibility),
(8) sikap berpikir bebas (independence in thinking), dan (9) sikap kedisiplinan diri (self
discipline).
Dari keseluruhan uraian tentang hakikat sains
di atas, kiranya cukup jelas bahwa pendidikan sains bukan sekedar berisi
rumus-rumus dan teori-teori melainkan suatu proses dan sikap ilmiah untuk
mendapatkan konsep-konsep ilmiah tentang alam semesta.
Bercermin dari uraian di atas, penulis menyadari
betapa jauh berbeda bentuk pembelajaran yang selama ini dilakukan dengan cerminan uraian mengajar di atas.
Ibarat jauh panggang dari api, setiap tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan
dalam Rencana Mengajar Harian (RMH), ketercapaiannya oleh siswa sering kali
masih jauh dari apa yang diharapkan.
Selama ini proses pembelajaran yang dilakukan lebih berorientasi pada menyiapkan siswa untuk
menghadapi UAN. Pada kenyataan sehari-hari, mengajar di kelas VI dikejar oleh
target. Perasaan khawatir siswa tidak lulus ujian merupakan pemicu bagi penulis
untuk menyampaikan materi secara marathon tanpa memperdulikan faktor psikologi
belajar siswa. Penulis hanya mengisi ingatan siswa dengan hafalan dengan tidak
memperdulikan kemampuan kognitif siswa. Pemahaman dan keterampilan lain
seolah-olah dikesampingkan demi keberhasilan UASBN nanti. Siswa pun cenderung pasif
mendengarkan dan mengikuti instruksi guru, sedangkan penulis aktif berceramah
yang terkadang disertai kekesalan jika siswa melakukan kesalahan.
Kegiatan pembelajaran lebih berorientasi pada guru (teacher centered), kegiatan siswa hanya
sebatas duduk, dengar, dan catat. Penulis masih menganggap fungsi utama
mengajar adalah menyampaikan informasi tanpa memperhatikan bagaimana cara menyajikan
informasi tersebut bagi siswa agar dapat diserap secara baik dan maksimal, sehingga
hasil tes dari pembelajaran yang demikian selalu tidak tepat mengarah pada
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Seperti halnya hasil tes formatif
pembelajaran sains pada materi “gerhana”, dari 35 siswa hanya 8 siswa saja yang mendapat nilai di atas kriteria
ketuntasan minimal (KKM sains di
sekolah kami 65), berarti hanya 28% saja yang telah mencapai tingkat ketuntasan
belajar.
Di sisi lain, siswa sepertinya kurang memiliki gairah dalam belajar, mereka
mengikuti semuanya seperti dalam keterpaksaan, ibarat sebuah ceremoni dari tradisi, buktinya ketika bel istirahat
berbunyi semua bersorak gembira seolah-olah baru terbebas dari hukuman yang
menyakitkan.
Dari kondisi di atas, penulis menyadari adanya
kekurang beresan dalam cara mengajar
yang dilakukan penulis. Ada kesenjangan antara kenyataan pencapaian tujuan
dengan harapan yang dituangkan dalam rumusan tujuan pembelajaran. Ada masalah yang menghambat keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran yang
harus segera diselesaikan. Sadar akan adanya masalah dan bercermin dari
pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan gambaran ideal tentang
pembelajaran yang sebenarnya, selanjutnya penulis melakukan refleksi diri
tentang praktik mengajar yang selama ini telah dilakukan, guna memahami
kekurangan dan kelebihannya.
Berbekal hasil
refleksi dari proses pembelajaran yang telah dilakukan, dan analisis berbagai dokumen
hasil belajar, selanjutnya penulis
meminta bantuan supervisor untuk membantu mengidentifikasi masalah-masalah yang
terjadi dalam pembelajaran. Dari hasil diskusi terungkap adanya beberapa masalah yaitu:
1. Prestasi
belajar siswa untuk materi gerhana belum optimal.
2. Pembelajaran lebih menekankan pada penguasaan sejumlah
pakta dan konsep, dan kurang memfasilitasi siswa untuk memiliki hasil belajar
yang komprehensif.
3. Pembelajaran tidak sesuai dengan hakikat dan esensi pembelajaran sains.
4. Kegiatan pembelajaran lebih berorientasi pada guru (teacher centered), kegiatan siswa hanya
sebatas duduk, dengar, dan catat.
5. Motivasi siswa selama pembelajaran sains kurang.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah tersebut, penulis
mencoba melakukan analisis masalah melalui
diskusi dan tukar informasi dengan supervisor, kepala sekolah, dan teman sejawat, serta bertanya kepada siswa tentang
pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dari serangkaian proses tersebut,
akhirnya dapat diduga bahwa faktor penyebab terjadinya masalah di atas, adalah:
1.
Model pembelajaran yang dipilih guru terlalu didominasi
oleh metode ceramah sehingga
menyebabkan abstraksi konsep.
2.
Siswa tidak memperoleh pengalaman nyata dan tidak mengalaminya sendiri
sehingga siswa kesulitan memahami materi pembelajaran.
3.
Guru hanya mengisi
ingatan siswa dengan hafalan, pemahaman dan
keterampilan lain seolah-olah dikesampingkan demi keberhasilan UASBN
nanti.
4.
Model pembelajaran hanya berfokus pada kegiatan guru (teacher centered
learning).
5.
Model pembelajaran yang dipilih kurang membantu
siswa dalam mempermudah memahami materi pembelajaran;
6.
Model pembelajaran yang diambil kurang sesuai
dengan perkembangan kognitif siswa SD.
7.
Guru belum mampu menggali potensi dan rasa ingin
tahu dalam diri siswa.
8.
Guru kurang memperhatikan hakikat dan esensi
pembelajaran sains yang sebenarnya.
Dengan memperhatikan akar
masalah tersebut di atas, dan atas saran supervisor, penulis mencoba memilih alternatif pemecahan masalah
melalui penggunaan meraga maket dalam model pembelajaraan aktif. Melalui model
pembelajaran ini diharapkan:
1. Pembelajaran yang dilakukan
sesuai dengan hakekat dan esensi pembelajaran sains serta karakteristik belajar
siswa,
2. Siswa dapat membangun
pengalaman belajarnya sendiri sehingga prestasi belajarnya bisa meningkat,
3. Siswa dapat belajar lebih
mudah, dan
4. Motivasi siswa dalam pembelajaran sains dapat ditingkatkan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan alternatif
pemecahan masalah di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah menerapkan model pembelajaran aktif
dengan peraga maket pada pembelajaran materi gerhana?
2.
Apakah penggunaan peraga maket dalam model
pembelajaran aktif dapat mempermudah
siswa dalam pemahaman materi?
3.
Apakah penggunaan peraga maket dalam model
pembelajaran aktif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa?
4.
Apakah penggunaan peraga maket dalam model
pembelajaran aktif dapat meningkatkan motivasi
siswa dalam pembelajaran sains?
C.
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan
masalah di atas, maka tujuan penelitian ditetapkan
sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Penelitian
ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VI SD N Tambakreja 07 dalam materi gerhana melalui model pembelajaran aktif dengan
peraga maket.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan proses
penerapan model pembelajaran aktif dengan peraga maket pada pembelajaran sains materi
gerhana.
b. Mengetahui dampak penggunaan
peraga maket dalam model aktif terhadap kemudahan siswa dalam memahami materi
pembelajaran.
c. Mengetahui dampak
pemanfaatan peraga maket dalam model pembelajaran aktif terhadap peningkatan
hasil belajar siswa.
d. Mengetahui dampak
pemanfaatan peraga maket dalam model pembelajaran aktif terhadap peningkatan motivasi
siswa dalam pembelajaran sains.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Manfaat Teoritis
a. Dari segi teoritis diharapkan penelitian ini dapat
melengkapi teori pembelajaran yang berkaitan dengan: model pembelajaran aktif,
peraga maket, motivasi belajar, dan
prestasi belajar siswa.
b. Hasil
peneelitian ini juga diharapkan mampu memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya
yang berkaitan dengan inovasi pembelajaran sains.
c. Sebagai bahan kajian bagi peneliti lebih lanjut dalam
mengkaji masalah yang sama.
Manfaat Praktis
a. Bagi pembelajar (guru)
1) Medapat pengalaman nyata dalam hal mencari solusi atau
afternatif penyelesaian masalah pembelajaran dalam rangka memperbaiki
kinerjanya selaku guru dengan langkah perbaikan melalui PTK.
2) Membantu guru untuk meningkatkan potensi dirinya dan kualitas pembelajarannya dari mata pelajaran
yang diampunya..
b. Manfaat bagi peserta didik (siswa)
1) Siswa dapat memperbaiki sistem belajarnya karena mampu
merekonstruksi pengetahuannya melalui pengalaman nyata.
2) Dengan milihat contoh yang dilakukan gurunya dalam
mengatasi masalah siswa akan menjadi kritis terhadap hasil belajarnya.
3) Hasil belajar
siswa meningkat.
c. Manfaat bagi sekolah
Sekolah menjadi berkembang karena adanya peningkatan
kemampuan dari guru-gurunya dalam hal praktik
pembelajaran, hal ini seperti diargumentasikan Hargreaves (dalam
Ristasa, 2012:7) “there is little school
development without teacher development; and there is little teacher development
without school development.
0 Response to "Contoh PTK IPA Kelas VI SD BAB I SDN Tambakreja"
Post a Comment