BAB II
KAJIAN TEORI
DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. KAJIAN
TEORI
1. Pembelajaran IPA di SD
a. Karakteristik Pembelajaran IPA di SD
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi
wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar,
serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat
sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang alam sekitar.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia
melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA
perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan. Di tingkat SD/MI
diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan,
teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk
merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi
bekerja ilmiah secara bijaksana.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific
inquiri) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah
serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena
itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar
secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan ketrampilan proses dan
sikap ilmiah.
Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar
minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan
dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD
didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja
ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
b. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA
Kelas VI
Standar
Kompetensi : Bumi dan Alam Semesta
9. Memahami matahari sebagai pusat tata surya dan interaksi bumi dalam tata
surya.
Kompetensi Dasar
: 9.1 Mendeskripsikan
sistem tata surya dan posisi penyusun tata surya.
9.2 Mendeskripsikan peristiwa rotasi bumi,
revolusi bumi dan revolusi bulan.
2. Pendekatan Konstruktivisme
a. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori
baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran
konstrutivis (constructivist theories of learning).Teori konstruktivis
ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentrasformasikan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar
benar-banar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja
memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan
susah payah dengan ide-ide.Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky,
teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain,
seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut
teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberi pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk
menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi
sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih
tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tesebut
(Nur, 2008: 8).
b. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan
kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak
dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa
pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya
perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman
sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran
yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).
Teori
perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna
dan pemahaman realitas melalui pengalaman – pengalaman dan interaksi-interaksi
mereka.
Menurut
teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru
dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan
kognitif. Empat tingkat perkembangan kognitif tersebut dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tahap
|
Perkiraan Usia
|
Kemampuan-kemampuan Utama
|
Sensorimotor
|
Lahir
sampai 2 tahun
|
Terbentuknya
konsep “kepermanenan obyek” dan kemajuan gradual dari perilaku refleksif ke
perilaku yng mengarah pada tujuan.
|
Praoperasional
|
2
sampai 7 tahun
|
Perkembangan
kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia.
Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
|
Operasi
Kongkrit
|
7
sampai 11 tahun
|
Perbaikan
dalam kemampuan untuk berpikir secara logis. Pemikiran tidak lagi sentrasi
tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh
keegosentrisan.
|
Operasi
Formal
|
11
tahun sampai dewasa
|
Pemikiran
abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat
dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis.
|
(Sumber;
Nur,1998:11)
Berdasarkan tingkat perkembangan
kognitif Piaget ini, sebagai contoh untuk peserta didik pada rentang usia 11 –
15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal. Pada usia ini yang
perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan remaja. Di mana remaja
mengalami tahap transisi dari penggunaan operasi kongkrit ke penerapan operasi
formal dalam bernalar. Remaja mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan mereka,
di mana mereka mulai bergelut dengan konsep-konsep yang ada di luar pengalaman
mereka sendiri.
Piaget
mengemukakan bahwa penggunaan operasi formal tergantung pada keakrapan dengan
daerah subyek tertentu. Apabila siswa akrab dengan suatu suatu obyek tertentu,
lebih besar kemungkinannya menggunakan operasi formal (Nur, 2001).
Menurut
Piaget (dalam Salvin, 1994: 145), perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya. Berikut ini adalah implikasi penting dalam model
pembelajaran dari teori Piaget.
1.
Memusatkan
perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar hasilnya.
Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan
anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2.Memperhatikan
peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Di dalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi (ready-made)
tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri
pengetahuan itu (discovery maupun inquiry) melalui interaksi
spontan dengan lingkungannya. Oleh sebab itu guru dituntut mempersiapkan
berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung
dengan dunia fisik.
3.Memaklumi
akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget
mengansumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang
sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu
guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok
kecil dari pada kelas yang utuh.
Implikasinya
dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi yang
melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberi waktu yang cukup untuk
menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berfikir formal.
c. Teori Penemuan Jerome Bruner
Salah satu model instruksional kognitif yang dikenal berpengaruh ialah
model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery Learning). Bruner
menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik.
Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
benar-benar bermakna (Dahar, 1988: 125).
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan
untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
3. Prinsip-prinsip Konstruktivisme
Salah satu peran penting guru di dalam kelas, tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, melainkan membantu siswa untuk membangun
pengetahuannya sendiri melalui pengalaman belajar. Cara yang dapat dilakukan
oleh guru adalah mengajar yang dapat menjadikan informasi yang diterima oleh
siswa menjadi bermakna dan relevan bagi siswa, memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan dan menerapkan sendiri ide-ide, dan mengajak siswa agar
menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar (Mohamad Nur:1999).
Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus secara
individu menemukan dan mentransfer informasi-informasi kompleks apabila mereka
harus menjadikan itu menjadi miliknya sendiri (Brooks:1990 dalam Mohamad
Nur:1999). Teori konstruktivis memandang siswa secara terus menerus memeriksa
informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi
aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Karena penekannya pada siswa (siswa
aktif), maka strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang terpusat
pada siswa atau student-student instraction
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky, yang
telah banyak digunakan dalam menunjang metode pengajaran yang menekankan pada
pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan (Mohamad
Nur:1999). Teori konstruktivisme modern terbagi atas empat prinsip kunci
yaitu:
a. Penekannya pada hakekat sosial dari
pembelajaran. Siswa belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu.
b. Ide bahwa belajar paling baik apabila
konsep itu berada dalam zona perkembangan mereka. Pada saat anak melakukan
kerja sama dengan orang lain, anak memahami konsep dengan dibantu oleh temannya
pada kelompok itu, yang memiliki kemampuan kognitif lebih tinggi, maka
kemampuan anak untuk memahami konsep tersebut berada dalam zona perkembangan
mereka.
c. Adanya penekanan pada keduanya, yaitu
hakikat sosial dan zona perkembangan terdekat yang dinamakan dengan pemagangan
kognitif. Penganut teori konstruktivisme menganjurkan pentransferan model
pengajaran dan pembelajaran yang efektif ini ke dalam aktifitas sehari-hari di
kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas kompleks maupun
membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan melibatkan siswa dalam
kelompok pembelajaran kooperatif heterogen di mana siswa yang lebih pandai
membantu siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks
tersebut.
d. Pada proses pembelajaran menekankan
kemandirian (scaffolding) atau belajar menggunakan media (mediated
learning). Siswa seharusnya diberi tugas-tugas kompleks, sulit dan
realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan
tugas-tugas tersebut .
Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya (Budiningsih, 2005).
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang
lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami proses belajar karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang
yang telah mempunyai pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk
mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa,
pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa melalui
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Von Galserfeld (Rene:1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang
diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu: (1) kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih
menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lainnya (Budiningsih, 2005).
4. Kebaikan Pembelajaran Berdasarkan
Konstruktivisme
Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan itu
tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara
aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan
pernyataan ini peneliti pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains
merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa
(Piaget dalam Dahar, 1996), sehingga di sini peran guru berubah, dari sumber
dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa pembelajaran dan perspektif konstruktivisme mengandung
empat kegiatan inti, yaitu: (a) berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan
awal (prior knowledge) siswa; (b) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience);
(c) melibatkan interaksi sosial (social interaction); dan (d)
terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).
Dari uraian di atas, artikel dan beberapa buku yang ditulis Driver et al
(1995) dan Obsorne & Freybeg (1985), yang dirangkum oleh Tyler (1996)
tentang implikasi pandangan konstruktivisme untuk pembelajaran dapat disarikan
beberapa kebaikan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme adalah sebagai
berikut:
Pertama, Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan
menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan
mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
Kedua, Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau
rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas
pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki (diberi) kesempatan untuk
merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan
gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
Ketiga, Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme
memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya agar siswa
berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang teori dan
model,mengenalkan gagasan-gagasan sains pada saat yang tepat.
Keempat, Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk
memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang telah
dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan
berbagai strategi belajar.
Kelima, Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan
mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan
mereka.
Keenam, Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme
memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan
gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu “jawaban yang
benar”.
Jadi dalam perspektif konstruktivisme belajar itu merupakan proses
perubahan konsepsi. Oleh karena belajar dipandang sebagai perubahan konsepsi,
maka dapat dikatakan belajar merupakan suatu kegiatan yang rasional. Belajar
hanya akan terjadi apabila seseorang mengubah atau berkeinginan mengubah
pikirannya (West & Pines, 1985: 211-214).Dalam perubahan konsepsi siswa
dipandang sebagai pemroses pengalaman dan informasi, bukan hanya sebagai tempat
penampung pengalaman dan informasi.
4. Konstruktivisme Dalam
Pembelajaran
a. Konstruktivisme Sebagai Pendekatan
Teori Vygotsky tentang pendidikan memiliki dua implikasi utama. Pertama,
hasrat mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif diantara kelompok-kelompok
siswa dengan tingkat-tingkat kemampuan yang berbeda. Penuturan oleh teman
sebaya yang lebih kompeten akan sangat efektif dalam memperkembangkan pertumbuhan
di dalam zona perkembangan terdekat (Forman & McPhail: 1989). Kedua,
pendekatan ala Vygotsky dalam pengajaran menekankan perancahan (scaffolding),
dengan siswa semakin mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya
sendiri.
Proses belajar yang terjadi pada diri siswa menurut teori konstruktivisme
bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah (dari luar siswa
ke dalam diri siswa), melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa terhadap
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
kemutakhiran struktur kognitifnya. Dalam hal ini pembelajaran lebih dipandang
dari segi prosesnya dibanding dari segi hasilnya. Pemberian makna terhadap
objek dan pengalaman oleh siswa tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh
siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu,
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses
gagasannya, bukan semata-mata ada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya
bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem
penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
1).
Kedudukan Siswa
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang memiliki
kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan
menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu,
meskipun kemampuan awal siswa sangat sederhana atau tidak sesuai dengan
pendapat guru, maka sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan
pembimbingan. Atas dasar pandangan tersebut maka kedudukan siswa dalam
pembelajaran bersifat aktif dalam melakukan berbagai kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Guru memang
dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberikan
peluang optimal bagi terjadinya proses pembelajaran, namun yang akhirnya
menentukan terwujudnya gejala belajar adalah siswa itu sendiri.
2) Peran Guru
Guru memiliki peran membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh
siswa berjalan lancar. Guru tidak mentrasfer pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru
dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam
belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya yang tepat adalah yang
sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang
meliputi berikut ini
a) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil
keputusan dan bertindak.
b) Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
siswa.
c) Menyediakan sistem dukungan yang
memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.
3) Sarana Belajar
Pendekatan konstruktivis menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan
fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang
dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk
berpikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya
secara rasional.
b. Penerapan Konstruktivisme Dalam
Pembelajaran IPA
Menurut
pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada
lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa.
Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan,
lihat dan dengar (West & Pines, 1985). Pembentukan makna merupakan suatu proses
aktif yang terus berlanjut. Jadi siswa memiliki tanggung jawab akhir atas
belajar mereka sendiri, seperti dikemukakan oleh Fensham (1994 : 5) sebagai
berikut
... A constructivist view
of learning with its fundamental prociple that people construct their own
meaning for experienced and for anything told them. Then constructed meaning
depends on the persons exixting knowledge. And since it is inevitable that
people had different experienced and have heard or read different thing.
Implikasi
dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat
dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun
oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini,
peneliti pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains merupakan proses
konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa (Piaget dalan Dahar, 1996),
sehingga disini peran guru adalah berubah, dari sumber dan pemberi informasi
menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa.
Hal ini
juga sesuai dengan pendapat Maslow dan Roger’s (tokoh aliran Psikhologi
Humanisme), bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Belajar
yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung dari siswa.
Berdasarkan
analisa para peneliti pendidikan sains,
bahwa belajar sains merupakan
proses konstruktif yang sangat tepat diterapkan dalam proses pembelajaran sains.
Diharapkan dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme pada kegiatan
pembelajaran tentang sistem tata surya dapat meningkatkan keaktifan siswa dan
dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap matari sistem tata surya.
B. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
Hasil penelitian tindakan kelas Saptono
(2007), penerapan strategi eksplorasi berbasis konstruktivisme dalam
pembelajaran telah memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan
keterampilan proses sains. Selama penelitian, enam jenis keterampilan proses
sains berkembang. Keterampilan proses sains tersebut adalah,
1. observing,
2. predicting,
3. questionong,
4. collecting data
5. communicating, dan
6. infering.
Keterampilan proses sains observing, collecting
data/recording dan infering cukup menonjol dengan kategori baik, sedangkan
predicting, questionong dan communicating dengan kategori cukup.
Penerapan strategi eksplorasi berbasis
konstruktivisme secara akademis meningkatkan rerata tes tulis dengan ketuntasan
mencapai 87.67% pada siklus III (siklus terakhir).
C. KERANGKA
PEMIKIRAN
MASALAH
PEMBELAJARAN
Pemahaman
siswa terhadap materi sistem tata surya rendah
PENYEBABNYA
Ø Siswa tidak aktif
Ø Strategi pembelajaran berpusat pada guru
Ø Kurangnya bimbingan dalam ketrampilan
proses
PEMECAHAN MASALAH
Penerapan pendekatan konstruktivisme
HASIL YANG DIHARAPKAN
Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi sistem tata surya
D. HIPOTESIS TINDAKAN
Berdasarkan
kerangka berpikir di atas, diajukan hipotesis tindakan ; penerapan pendekatan
konstruktivisme, meningkatkan pemahaman siswa Kelas VI SD Negeri 2 Karanganyar terhadap materi sistem tata surya.
0 Response to "Pendekatan Konstruktivisme Dapat Meningkatkan Pemahaman Siswa Materi Sistem Tata Surya Siswa Kelas VI BAB II"
Post a Comment