Pendekatan Konstruktivisme Dapat Meningkatkan Pemahaman Siswa Materi Sistem Tata Surya Siswa Kelas VI BAB II

BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A.  KAJIAN TEORI
1.   Pembelajaran IPA di SD
a.   Karakteristik Pembelajaran IPA di SD
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.           Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiri) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan ketrampilan proses dan sikap ilmiah.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
b.   Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas VI
Standar Kompetensi   :     Bumi dan Alam Semesta
9.   Memahami matahari sebagai pusat tata        surya dan interaksi bumi dalam tata surya.
Kompetensi Dasar       :     9.1   Mendeskripsikan sistem tata surya dan posisi penyusun tata surya.       
                                          9.2   Mendeskripsikan peristiwa rotasi bumi, revolusi bumi dan revolusi bulan.



2.   Pendekatan Konstruktivisme
      a.         Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstrutivis (constructivist theories of learning).Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentrasformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-banar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberi pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tesebut (Nur, 2008: 8).
b.   Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman – pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif. Empat tingkat perkembangan kognitif tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tahap
Perkiraan Usia
Kemampuan-kemampuan Utama
Sensorimotor
Lahir sampai 2 tahun
Terbentuknya konsep “kepermanenan obyek” dan kemajuan gradual dari perilaku refleksif ke perilaku yng mengarah pada tujuan.
Praoperasional
2 sampai 7 tahun
Perkembangan kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
Operasi Kongkrit
7 sampai 11 tahun
Perbaikan dalam kemampuan untuk berpikir secara logis. Pemikiran tidak lagi sentrasi tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan.
Operasi Formal
11 tahun sampai dewasa
Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis.
                                                                  (Sumber; Nur,1998:11)
                 Berdasarkan tingkat perkembangan kognitif Piaget ini, sebagai contoh untuk peserta didik pada rentang usia 11 – 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal. Pada usia ini yang perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan remaja. Di mana remaja mengalami tahap transisi dari penggunaan operasi kongkrit ke penerapan operasi formal dalam bernalar. Remaja mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan mereka, di mana mereka mulai bergelut dengan konsep-konsep yang ada di luar pengalaman mereka sendiri.
Piaget mengemukakan bahwa penggunaan operasi formal tergantung pada keakrapan dengan daerah subyek tertentu. Apabila siswa akrab dengan suatu suatu obyek tertentu, lebih besar kemungkinannya menggunakan operasi formal (Nur, 2001).
Menurut Piaget (dalam Salvin, 1994: 145), perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Berikut ini adalah implikasi penting dalam model pembelajaran dari teori Piaget.
1.              Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar hasilnya. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2.Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery maupun inquiry) melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh sebab itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
3.Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengansumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada kelas yang utuh.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberi waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berfikir formal.
c. Teori Penemuan Jerome Bruner
Salah satu model instruksional kognitif yang dikenal berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan  (Discovery Learning). Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1988: 125).
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
     

3.   Prinsip-prinsip Konstruktivisme
Salah satu peran penting guru di dalam kelas, tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui pengalaman belajar. Cara yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengajar yang dapat menjadikan informasi yang diterima oleh siswa menjadi bermakna dan relevan bagi siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan sendiri ide-ide, dan mengajak siswa agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar (Mohamad Nur:1999).
Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus secara individu menemukan dan mentransfer informasi-informasi kompleks apabila mereka harus menjadikan itu menjadi miliknya sendiri (Brooks:1990 dalam Mohamad Nur:1999). Teori konstruktivis memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Karena penekannya pada siswa (siswa aktif), maka strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang terpusat pada siswa atau student-student instraction                
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky, yang telah banyak digunakan dalam menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan (Mohamad Nur:1999). Teori konstruktivisme modern terbagi atas empat prinsip kunci yaitu:
a.       Penekannya pada hakekat sosial dari pembelajaran. Siswa           belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu.
b.      Ide bahwa belajar paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan mereka. Pada saat anak melakukan kerja sama dengan orang lain, anak memahami konsep dengan dibantu oleh temannya pada kelompok itu, yang memiliki kemampuan kognitif lebih tinggi, maka kemampuan anak untuk memahami konsep tersebut berada dalam zona perkembangan mereka.
c.       Adanya penekanan pada keduanya, yaitu hakikat sosial dan zona perkembangan terdekat yang dinamakan dengan pemagangan kognitif. Penganut teori konstruktivisme menganjurkan pentransferan model pengajaran dan pembelajaran yang efektif ini ke dalam aktifitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif heterogen di mana siswa yang lebih pandai membantu siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks tersebut.
d.      Pada proses pembelajaran menekankan kemandirian (scaffolding) atau belajar menggunakan media (mediated learning). Siswa seharusnya diberi tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut .
Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya (Budiningsih, 2005). Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami proses belajar karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Von Galserfeld (Rene:1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lainnya (Budiningsih, 2005).

4.   Kebaikan Pembelajaran Berdasarkan Konstruktivisme
Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini peneliti pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa (Piaget dalam Dahar, 1996), sehingga di sini peran guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pembelajaran dan perspektif konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu: (a) berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan awal (prior knowledge) siswa; (b) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience); (c) melibatkan interaksi sosial (social interaction); dan (d) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).
Dari uraian di atas, artikel dan beberapa buku yang ditulis Driver et al (1995) dan Obsorne & Freybeg (1985), yang dirangkum oleh Tyler (1996) tentang implikasi pandangan konstruktivisme untuk pembelajaran dapat disarikan beberapa kebaikan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme adalah sebagai berikut:
Pertama,   Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
Kedua,       Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki (diberi) kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
Ketiga,       Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya agar siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang teori dan model,mengenalkan gagasan-gagasan sains pada saat yang tepat.
Keempat,   Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
Kelima,      Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Keenam,    Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu “jawaban yang benar”.

Jadi dalam perspektif konstruktivisme belajar itu merupakan proses perubahan konsepsi. Oleh karena belajar dipandang sebagai perubahan konsepsi, maka dapat dikatakan belajar merupakan suatu kegiatan yang rasional. Belajar hanya akan terjadi apabila seseorang mengubah atau berkeinginan mengubah pikirannya (West & Pines, 1985: 211-214).Dalam perubahan konsepsi siswa dipandang sebagai pemroses pengalaman dan informasi, bukan hanya sebagai tempat penampung pengalaman dan informasi.

4.  Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
a.      Konstruktivisme Sebagai Pendekatan
Teori Vygotsky tentang pendidikan memiliki dua implikasi utama. Pertama, hasrat mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif diantara kelompok-kelompok siswa dengan tingkat-tingkat kemampuan yang berbeda. Penuturan oleh teman sebaya yang lebih kompeten akan sangat efektif dalam memperkembangkan pertumbuhan di dalam zona perkembangan terdekat (Forman & McPhail: 1989). Kedua, pendekatan ala Vygotsky dalam pengajaran menekankan perancahan (scaffolding), dengan siswa semakin mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri.
Proses belajar yang terjadi pada diri siswa menurut teori konstruktivisme bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah (dari luar siswa ke dalam diri siswa), melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Dalam hal ini pembelajaran lebih dipandang dari segi prosesnya dibanding dari segi hasilnya. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh siswa tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu, pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata ada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
1). Kedudukan Siswa
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu, meskipun kemampuan awal siswa sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, maka sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Atas dasar pandangan tersebut maka kedudukan siswa dalam pembelajaran bersifat aktif dalam melakukan berbagai kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberikan peluang optimal bagi terjadinya proses pembelajaran, namun yang akhirnya menentukan terwujudnya gejala belajar adalah siswa itu sendiri.
2)  Peran Guru
Guru memiliki peran membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentrasfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang meliputi berikut ini
a) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
b)   Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
c)   Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
3)   Sarana Belajar
          Pendekatan konstruktivis menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah  yang dihadapinya, mandiri, kritis, dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional.
b.      Penerapan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran IPA
Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar (West & Pines, 1985). Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut. Jadi siswa memiliki tanggung jawab akhir atas belajar mereka sendiri, seperti dikemukakan oleh Fensham (1994 : 5) sebagai berikut
... A constructivist view of learning with its fundamental prociple that people construct their own meaning for experienced and for anything told them. Then constructed meaning depends on the persons exixting knowledge. And since it is inevitable that people had different experienced and have heard or read different thing.
Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini, peneliti pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa (Piaget dalan Dahar, 1996), sehingga disini peran guru adalah berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Maslow dan Roger’s (tokoh aliran Psikhologi Humanisme), bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung dari siswa.
Berdasarkan analisa para peneliti pendidikan sains,      bahwa belajar sains merupakan proses konstruktif yang sangat tepat diterapkan dalam proses pembelajaran sains. Diharapkan dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme pada kegiatan pembelajaran tentang sistem tata surya dapat meningkatkan keaktifan siswa dan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap matari sistem tata surya.

B.  HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
Hasil penelitian tindakan kelas Saptono (2007), penerapan strategi eksplorasi berbasis konstruktivisme dalam pembelajaran telah memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan proses sains. Selama penelitian, enam jenis keterampilan proses sains berkembang. Keterampilan proses sains tersebut adalah,
1.      observing,
2.      predicting,
3.      questionong,
4.      collecting data
5.      communicating, dan
6.      infering.
Keterampilan proses sains observing, collecting data/recording dan infering cukup menonjol dengan kategori baik, sedangkan predicting, questionong dan communicating dengan kategori cukup.
Penerapan strategi eksplorasi berbasis konstruktivisme secara akademis meningkatkan rerata tes tulis dengan ketuntasan mencapai 87.67% pada siklus III (siklus terakhir).

C.                KERANGKA PEMIKIRAN
 


MASALAH PEMBELAJARAN
Pemahaman siswa terhadap materi sistem tata surya rendah
 




PENYEBABNYA
Ø  Siswa tidak aktif
Ø  Strategi pembelajaran berpusat pada guru
Ø  Kurangnya bimbingan dalam ketrampilan proses
 




PEMECAHAN MASALAH
Penerapan pendekatan konstruktivisme
 




HASIL YANG DIHARAPKAN
Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi sistem tata surya


D.    HIPOTESIS TINDAKAN
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, diajukan hipotesis tindakan ; penerapan pendekatan konstruktivisme, meningkatkan pemahaman siswa Kelas VI SD Negeri 2 Karanganyar terhadap materi sistem tata surya.




0 Response to "Pendekatan Konstruktivisme Dapat Meningkatkan Pemahaman Siswa Materi Sistem Tata Surya Siswa Kelas VI BAB II"

Post a Comment