BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan Tentang Prestrasi Belajar
1. Pengertian
Belajar
Pengertian belajar sudah
banyak dikemukakan dalam kepustakaan. Yang dimaksud belajar yaitu perbuatan
murid dalam bidang material, formal serta fungsional pada umumnya dan bidang
intelektual pada khususnya. Jadi belajar merupakan hal yang pokok. Belajar
merupakan suatu perubahan pada sikap dan tingkah laku yang lebih baik, tetapi
kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk.
Untuk dapat disebut belajar,
maka perubahan harus merupakan akhir dari pada periode yang cukup panjang. Berapa
lama waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu
hendaklah merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung
berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Belajar
merupakan suatu proses yang tideak dapat dilihat dengan nyata proses itu
terjadi dalam diri seserorang yang sedang mengalami belajar. Jadi yang dimaksud
dengan belajar bukan tingkah laku yang nampak, tetapi prosesnya terjadi secara
internal di dalam diri individu dalam mengusahakan memperoleh hubungan-hubungan
baru.
2. Pengertian
Prestasi Belajar
Sebelum dijelaskan pengertian
mengenai prestasi belajar, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang pengertian
prestasi. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai. Dengan demikian bahwa
prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan
sesuatu pekerjaan/aktivitas tertentu.
Jadi prestasi adalah hasil
yang telah dicapai oleh karena itu semua individu dengan adanya belajar
hasilnya dapat dicapai. Setiap individu belajar menginginkan hasil yang yang
sebaik mungkin. Oleh karena itu setiap individu harus belajar dengan
sebaik-baiknya supaya prestasinya berhasil dengan baik. Sedang pengertian
prestasi juga ada yang mengatakan prestasi adalah kemampuan. Kemampuan di sini
berarti yan dimampui individu dalam mengerjakan sesuatu.
3. Pedoman
Cara Belajar
Untuk memperoleh
prestasi/hasil belajar yang baik harus dilakukan dengan baik dan pedoman cara
yang tapat. Setiap orang mempunyai cara atau pedoman sendiri-sendiri dalam
belajar. Pedoman/cara yang satu cocok digunakan oleh seorang siswa, tetapi
mungkin kurang sesuai untuk anak/siswa yang lain. Hal ini disebabkan karena
mempunyai perbedaan individu dalam hal kemampuan, kecepatan dan kepekaan dalam
menerima materi pelajaran.
Oleh karena itu tidaklah ada
suatu petunjuk yang pasti yang harus dikerjakan oleh seorang siswa dalam
melakukan kegiatan belajar. Tetapi faktor yang paling menentukan keberhasilan
belajar adalah para siswa itu sendiri. Untuk dapat mencapai hasil belajar yang
sebaik-baiknya harus mempunyai kebiasaan belajar yang baik.
B. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
1. Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Belajar
Adapun
faktor-faktor itu, dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
a. Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang kita sebut faktor
individu.
Yang termasuk ke dalam faktor individu antara
lain faktor kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan
faktor pribadi.
b. Faktor yang ada pada luar individu yang kita sebut dengan faktor
sosial
Sedangkan yang faktor sosial antara lain faktor
keluarga, keadaan rumah tangga, guru, dan cara dalam mengajarnya, lingkungan
dan kesempatan yang ada atau tersedia dan motivasi sosial.
Berdasarkan faktor yang
mempengaruhi kegiatan belajar di atas menunjukkan bahwa belajar itu merupaka
proses yang cukup kompleks. Artinya pelaksanaan dan hasilnya sangat ditentukan
oleh faktor-faktor di atas. Bagi siswa yang berada dalam faktor yang mendukung
kegiatan belajar akan dapat dilalui dengan lancar dn pada gilirannya akan
memperoleh prestasi atau hasil belajar yang baik.
Sebaliknya bagi siswa yang
berada dalam kondisi belajar yang tidak menguntungkan, dalam arti tidak
ditunjang atau didukung oleh faktor-faktor diatas, maka kegiatan atau proses
belajarnya akan terhambat atau menemui kesulitan.
C. Hakikat IPA
IPA
didefiniksan sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara alam.
Perkembangan IPA tidak hanya ditandai dengan adanya fakta, tetapi juga oleh
adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Metode ilmiah dan pengamatan ilmiah
menekankan pada hakikat IPA.
Secara
rinci hakikat IPA menurut Bridgman (dalam Lestari, 2002: 7) adalah sebagai
berikut:
- Kualitas;
pada dasarnya konsep-konsep IPA selalu dapat dinyatakan dalam bentuk
angka-angka.
- Observasi
dan Eksperimen; merupakan salah satu cara untuk dapat memahami
konsep-konsep IPA secara tepat dan dapat diuji kebenarannya.
- Ramalan
(prediksi); merupakan salah satu asumsi penting dalam IPA bahwa misteri
alam raya ini dapat dipahami dan memiliki keteraturan. Dengan asumsi
tersebut lewat pengukuran yang teliti maka berbagai peristiwa alam yang
akan terjadi dapat diprediksikan secara tepat.
- Progresif
dan komunikatif; artinya IPA itu selalu berkembang ke arah yang lebih
sempurna dan penemuan-penemuan yang ada merupakan kelanjutan dari penemuan
sebelumnya.
Proses;
tahapan-tahapan yang dilalui dan itu dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah
dalam rangkan menemukan suatu kebernaran.
- Universalitas;
kebenaran yang ditemukan senantiasa berlaku secara umum.
Dari penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA merupakan
bagian dari IPA,
dimana konsep-konsepnya diperoleh melalui suatu proses dengan menggunakan metode ilmiah dan diawali dengan sikap ilmiah
kemudian diperoleh hasil (produk).
D. Proses Belajar Mengajar IPA
Proses
dalam pengertian disini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang
terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lainnya saling berhubungan (inter independent) dalam ikatan untuk
mencapai tujuan (Usman, 2000: 5).
Belajar
diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat
adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
yang diutarakan Burton
bahwa seseorang setelah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan
tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek
sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi
mengerti. (dalam Usman, 2000: 5).
Mengajar
merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggungjawab moral yang cukup berat.
Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan suatu usaha
mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan
pengajaran yang menimbulkan proses belajar.
Proses
belajar mengajar merupakan suatu inti dari proses pendidikan secara keseluruhan
dengan guru sebagai pemegangn peran utama. Proses belajar mengajar merupakan
suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu
merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar (Usman,
2000: 4).
Sedangkan
menurut buku Pedoman Guru Pendidikan Agama Islam, proses belajar mengajar dapat
mengandung dua pengertian, yaitu rentetan kegiatan perencanaan oleh guru,
pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi program tindak lanjut (dalam Suryabrata,
1997: 18).
Dari
kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar IPA
meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan
kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam
situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran IPA.
E. Prestasi Belajar IPA
Belajar
dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan ini
merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik.
Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan
dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Poerwodarminto (1991:
768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan, dekerjakan), dalam
hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil penciptaan oleh
seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang
membutuhkan pikiran.
Berdasarkan
uraian diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh siswa
dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan
kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan
megadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk mengetahui
sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru.
Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam proses
belajar mengajar di sekolah.
Sejalan
dengan prestasi belajar, maka dapt diartikan bahwa prestasi belajar IPA adalah
nilai yang dipreoleh siswa setelah melibatkan secara langsung/aktif seluruh
potensi yang dimilikinya baik aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan
psikomotor (keterampilan) dalam proses belajar mengajar IPA.
F. Gaya
Belajar
Kalangan
pendidik telah menyadari bahwa peserta didik memiliki bermacam cara belajar.
Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik hanya dengan melihat orang lain
melakukannya. Biasanya, mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut.
Mereka lebih suka menuliskan apa yang dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka
biasanya diam dan jarang terganggu oleh kebisingan. Perserta didik visual ini
berbeda dengan peserta didik auditori, yang biasanya tidak sungkan-sungkan
untuk memperhatikan apa yang dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka
menggurulkan kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka
mungkin banyak bicara dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau
kebisingan. Peserta didik kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung
dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive, semau gue, dan kurang sabaran.
Selama pelajaran, mereka mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak
dan mengerjakan sesuatu. Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan
tida karuan.
Tentu
saja, hanya ada sedikit siswa yang mutlak memiliki satu jenis cara belajar.
Grinder (1991) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata
dapat belajar dengan efektif selama gurunya mengahadirkan kegaitan belajar yang
berkombinasi antara visual, auditori dan kinestik. Namun, 8 siswa siswanya
sedemikan menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya. Sehingga
mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan
dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan ara yang mereka sukai. Guna memenuhi
kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan penuh dengan variasi.
Kalangan
pendidikan juga mencermati adanya perubahan cara belajar siswa. Selama lima belas tahun
terakhir, Schroeder dan koleganya (1993) telah menerapkan indikator tipe
Myer-Briggs (MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI merupakan salah satu instrument
yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan untuk memahami fungsi
perbedaan individu dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen
dari mahasiswa yang masuk memiliki orientasi praktis ketimbang teoritis
terhadap pembelajaran, dan persentase itu bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa
lebih suka terlibat dalam pengalaman langsung dan konkret daripada mempelajari
konsep-konsep dasar terlebih dahulu dan baru kemudian menerapkannya. Penelitain
MBTI lainnya, jelas Schroeder, menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih
suka kegiatan belajar yang benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif
abstrak, dengan rasio lima
banding satu. Dari semua ini, dia menyimpulkan bahwa cara belajar dan mengajar
aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini. Agar bisa efektif, guru harus
menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek kelompok kecil, presentasi dan
debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman lapangan, simulasi,
dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa siswa masa kini “bisa
beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar bersama.”
Temuan-teman
ini dapat dianggap tidak mengejutkan bila kita mempertimbangkan secepatnya laju
kehidupan modern. Dimasa kini siswa dibesarkan dalam dunia yang segala
sesuatunya berjalan dengan cepat dan banyak pilihan yang tersedia. Suara-suara
terdengar begitu menghentak merdu, dan warna-warna terlihat begitu semarak dan
menarik. Obyek, baik yang nyata maupun yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk
mengubah segala sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain terbuka sangat luas.
G. Pengajaran Berbasis Masalah
Pengajaran
berbasis masalah (Problem-Based Learning)
adalah suatu pandekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai
suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan
keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensial dari materi pelajaran.
Pengajaran
masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi
berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut
Ibrahim dan Nur (2000: 2)), “Pengajaran berbasis masalah dikenal dengan nama
lain seperti Project-Based Teacihg
(Pembelajaran Proyek), Experienced-Based
Education (Pendidikan berdasarkan pengalaman), Authentic Learning (Pembelajaran Autentik), dan Achoered Instruction (Pembelajaran
berakar pada kehidupan nyata)”.
Peran
guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan
pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pengajaran berbasis
masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang
memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Secara garis besar
pengajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi
masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada
mereka untuk melakukan penyelidikan dan ikuiri.
1. Ciri-cirinya
Berbagai
pengembangan pengajaran berbasis masalah telah mencoba menunjukkan cirri-ciri
pengajaran berbasis masalah sebagai berikut.
a. Pengajuan pertanyaa atau
masalah.
Pengajaran
berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau
keterampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah
mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang
kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
Mereka mengajukan situasi kehidipan nyata yang autentik, menghindari jawaban
sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi itu.
b. Berfokus pada keterkaitan
antar disiplin.
Meskipun
pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA,
Matematika, Ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang
benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari
banyak mata pelajaran.
c. Penyelidikan autentik.
Pengajaran
berbasis masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk
mencari pemecahan masalah nyata. Mereka harus menganalisasi dan mendefinisikan
masalah, mengembankan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan
menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat
iferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan
yang digunakan bergantung pada masalah yang sesdang dipelajari.
d. Menghasilkan produk/karya dan
memamerkannya.
Pengajaran
berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk
karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkrip
debat, laporan, model fisik, video atau program computer (Ibrahim & Nur,
2000:5-7).
Pengajaran
berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling
sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan
motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan
memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan
keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
2. Tujuan Pembelajaran dan Hasil
Belajar
Pengajaran
berbasis masalah dirancang untuk membantu guru memberikan informasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berbasis masalah dikembangkan
terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan
masalah, dan keterampilan intelektual, belajar tentang berbagai peran orang
dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan
menjadikan pembelajar yang otonom dan mandiri. Uraian rinci terhdap ketiga
tujuan itu dijelaskan lebih jauh oleh Ibrahim dan Nur (2000:7-12) berikut ini.
a. Keteramplan Berpikir dan
Keterampilan Pemecahan Masalah
Berbagai macam
ide telah digunakan untuk menggambarkan cara seseorang berpikir. Tetapi, apakah
sebenarnya yang terlibat dalam proses berpikir? Apakah keterampilan berpikir
itu dan terutama apakah keterampilan berpikir itu?
-
Berpikir
adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi,
klasifikasi, dan penalaran.
-
Berpikir
adalah proses secara simbolik menyatakan (melalui bahasa) objek nyata dan
kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik itu untuk menemuan
prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian itu untuk menemukan
prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian itu. Pernyataan simbolik
(abstrak) seperti itu biasanya berbeda dengan operasi mental yang didasarkan
pada tingkat konkret dari fakta dan kasus khusus.
-
Berpikir
adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan
berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama.
Tentang
berpikir tingkat tinggi, Resnick (1987) memberikan penjelasan sebagai berikut:
-
Berpikir
tingkat tinggi adalah nonalgoritmik,
yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat diterapan sebelumnya.
-
Berpikir
tingkat tinggi cenderung kompleks.
Keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang.
-
Berpikir
tingkat tinggi sering kali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian.
-
Berpikir
tingkat tinggi melibatkan pertimbangan
dan interpretasi.
-
Berpikir
tingkat tinggi melibatkan ketidakpastian.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas tidak selamanya diketahui.
-
Berpikir
tingkat tinggi melibatkan banyak penerapan banya kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain.
-
Berpikir
tingkat tinggi melibatkan banyak pengaturan
diri tentang proses berpikir. Kita tidak mengakui sebagai berpikir tingkat
tinggi pada seseorang jika ada orang lain membantunya pada setiap tahap.
-
Berpikir
tingkat tinggi melibatkan pencarian makna,
menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur.
-
Berpikir
tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja
mental besar-besaran saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan
yang dibutuhkan.
Perlu
dicatat bahwa Resnick menggunakan kata-kata dan ungkapan seperti pertimbangan, pengaturan diri, pencarian
makna, dan ketidakpastian. Hal ini berarti bahwa proses berpikir dan
keterampilan yang perlu diaktifkan sangatlah kompleks. Resnick juga menekankan
pentingnya konteks atau keterkaitan pada saat berpikir tentan berpikir.
Meskipun proses memiliki beberapa kesamaan antarsituasi, proses itu juga
bervarisai bergantung pada apa yang dipikirkan seseorang. Sebagai contoh, proses
yang kita gunakan untuk memikirkan matematika berbeda dengan proses yang kita
gunakan untuk memikirkan puisi. Proses berpikir yang digunakan untuk memikirkan
ide abstrak berbeda dengan yang digunakan untuk memikirkan situasi kehidupan
nyata. Karena hakikat kekomplekan dan konteks dari keterampilan berpikir
tingkat tinggi, maka keterampilan itu tidak dapat diajarkan menggunakan
pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan ide dan keterampilan yang lebih
konkret. Keterampilan proses dan berpikir tingkat tinggi bagaimanapun juga
jelas dapat diajarkan, dan kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk
tujuan ini sangat mendasarkan diri pada pendekatan yang sama dengan pengajaran
berbasis masalah.
a. Pemodelan Peran Orang Dewasa
Resnick
juga memberikan rasional tentang bagaimana pengajaran berbasis masalah membantu
siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar tentang
pentingnya peran orang dewasa. Dalam banyak hal pengajaran berbasis masalah
bersesuaian dengan aktivitas mental di luar sekolah sebagaimana yang diperankan
oleh orang dewasa.
1. Pengajaran berbasis masalah
memiliki unsur-unsur belajar magang. Hal tersebut mendorong pengamatan dan
dialog dengan orang lain, sehingga secara bertahap siswa dapat memahami peran
penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar sekolah.
2. Pengajaran berbasis masalah
melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan siswa
menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun
pemahamannya tentang fenomena tersebut.
b. Pembelajaran yang Otonom dan
Mandiri
Pengajaran
berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri dan
otonom. Bimbingan guru yang berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa
untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh
mereka sendiri. Dengan begitu, siswa belajar menyelesaikan tugas-tugas mereka
secara mandiri dalam hidupnya.
3. Tahapan Pengajaran Berbasis
Masalah
Pengajaran
berbasis masalah biasanya terdiri dari lima
tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu
situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa.
Tabel 2.1. Tahapan Pengajaran Berbasis
Masalah
Tahapan
|
Tingkah Laku Guru
|
Tahap
1
Orientasi
siswa kepada masalah
|
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang dibutuhkan,
memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya
|
Tahap
2
Mengorganisasi
siswa untuk belajar
|
Guru
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubugnan dengan masalah tersebut
|
Tahap
3
Membimbing
penyelidikan individual dan kelompok
|
Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informsi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, untuk mendapatkan penyelasan dan pemecahan masalahnya.
|
Tahap
4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru
membantu siwa merekncanakan dan menyiapkan karyayang sesuai seperti laporan,
video, dan model serta membantu mereka berbagai tugas dengan temannya.
|
Tahap
5
Menganalisa
dan mengevaluasi proses pemecahan maslah
|
Guru
membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
dan proses-proses yang mereka gunakan.
|
4. Lingkungan Belajar dan Sistem
Manajemen
Tidak
seperti lingkungan belajar yang terstruktur secara ketat yang dibutuhkan dalam
pembelajaran langsung atau penggunaan yang hati-hati kelompok kecil dalam
pembelajaran kooperatif, lingkungan belajar dan system manajemen dalam
pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses
demokrasi, dan peranan siswa yang aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan
tahapan pembelajaran yang terstruktur dan dapat diprediksi dalam pengajaran
berbasis masalah, norma di sekitar pelajaran adalah norma inkuiri terbuka dan
bebas mengemukakan pendapat. Lingkungan belajar menekankan peranan sentral
siswa, bukan guru yang ditekankan.
0 Response to "PTK IPA Berbasis Masalah BAB II"
Post a Comment