Makalah Lengkap Penyakit Langganan Bakteri Dan Virus BAB I, II, Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

Perasaan bahagia bercampur khawatir biasanya menyelimuti hati setiap ibu menjelang masa-masa melahirkan. Jika bayinya lahir sehat, kebahagiaan itu lengkaplah sudah. Tapi, bagaimana jika terjadi sesuatu yang salah pada si buah hati?
Masih saja seorang ibu merasa khawatir dengan kondisi bayi yang akan dilahirkannya nanti, kendati ia telah berusaha sebaik mungkin menjaga kehamilannya. Mulai dari gizi makanan, vitamin hingga pemeriksaan rutin kehamilan. Semua diperhatikannya dengan seksama, hanya karena ingin bayinya lahir sehat dan selamat.
Perasaan khawatir tentang kondisi bayi yang akan dilahirkan bagi ibu hamil sangatlah wajar. Sebab banyak hal bisa terjadi pada masa-masa kehamilan itu. Namun, ada beberapa kelainan pada bayi yang dapat dicegah sejak masih dalam kandungan. Apalagi dengan kemajuan ilmu kedokteran, sekarang ini kemungkinan untuk mendapatkan bayi lahir sehat sangat besar. Agar keinginan itu terpenuhi, yang lebih penting adalah menjaga masa kehamilan.
Salah satunya adalah menjaga kualitas asupan makanan yang bergizi dan bervitamin selama masa kehamilan. Dengan menjaga kualitas makanan maka Anda dan janin Anda akan sehat.
Persiapan kehamilan secara khusus dengan vaksinasi masih jarang dilakukan. Kebanyakan perempuan baru datang ke dokter setelah kehamilan mereka memasuki usia satu atau dua bulan. Padahal, pemberian vaksin prakehamilan penting bagi pertumbuhan janin. Terlebih lagi pada 8 minggu pertama ketika fase embriologis berlangsung. Pada masa ini kesehatan ibu harus terjaga secara baik, agar tidak mempengaruhi pertumbuhan janin.

BAB II
ISI
PENYAKIT LANGGANAN BAKTERI DAN VIRUS LANGGANAN PADA JANIN, BAYI DAN BALITA SERTA CARA PENANGGULANGANNYA

Secara umum infeksi dalam kehamilan berdasarkan penyebabnya dikelompokan menjadi tiga penyebab, yaitu :
  1. Infeksi Virus ; meliputi varisella zooster, influenza, parotitis, rubeola, virus pernafasan, enterovirus, parfovirus, rubella, sitomegalovirus.
  2. Infeksi bakteri ; meliputi Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Listeriosis, Salmonella, Shigella, Mourbus Hansen.
  3. Infeksi protozoa; meliputi Toksoplasmosis, Amubiasis, amubiasis, infeksi jamur.

2.1 PENYAKIT – PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH INFEKSI VIRUS DAN PENANGGULANGNNYA

1.VARICELLA – ZOOSTER
Walaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah parah selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).

Pencegahan
Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m.

Efek pada janin
Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai.
Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan.

2.INFLUENZA
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, meliputi influenza tipe A dan tipe B. Influenza A lebih serius dari pada B. Penyakit ini tidak mengancam nyawa bagi orang dewasa sehat, kecuali apabila timbul pneumonia, prognosis menjadi serius. Haris (1919) melaporkan angka kematian kasar ibu hamil sebesar 27 %, yang meningkat menjadi 50% apabila terjadi pneumonia.

Pencegahan
Center for Disease Control and Prevention(1998) menganjurkan vaksinasi terhadap influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Berapa pun usia gestasi, wanita dengan penyakit medis kronik, misalnya dibetes atau jantung, divaksinasi. Amantadin berespon baik dan spesifik terhadap virus-virus influenza A apabila diberikan dalam 48 jam setelah awitan gejala.
Efek pada janin
Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital atau  kelainan pada bayi.

3.PAROTITIS
Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.

Efek pada janin
Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin maupun anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.

4.RUBEOLA (CAMPAK)
Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi abortus dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966). Apabila seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan. Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin divaksinasi postpartum.

5.RUBELLA
Rubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yang biasanya tidak begitu penting pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir kehamilan yang jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital berat. Hubungan antara rubela maternal dan malformasi kongenital serius, pertama-tama dikenali oleh Gregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.

Pencegahan
Untuk memberantas penyakit infeksi ini sama sekali, pendekatan berikut dianjurkan untuk mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia reproduktif:
1.      Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat luas mengenai bahaya infeksi rubella.
2.      Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari perawatan medis dan obstetrik rutin
3.      Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencana
4.      Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum memiliki kekebalan sesudah melahirkan bayi atau mengalami abortus
5.      Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang diketahui lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinan
6.      Jaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakit yang dapat terpapar pasien rubela
atau yang meng­alami kontak dengan ibu hamil
7.      Vaksinasi rubela dianjurkan agar tidak dilakukan sesaat sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan, mengingat vaksin tersebut merupakan virus hidup yang dilemahkan.
The Centers for Disease Control (1987b) telah mempertahankan pencatatan sejak tabun 1971 untuk memantau efek vaksinasi terhadap janin. Sampai tahun 1986, 1.176 wanita yang rentan terhadap infeksi rubela telab diimunisasi dalam waktu 3 bulan sejak pembuahan dan untungnya tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin tersebut menimbulkan malformasi pada bayi atau janin. Kasus­ kasus di mana wanita yang rentan diimunisasi selama keha­milannya harus dilaporkan ke bagian pencatatan ini (Centers for Disease Control, Atlanta, Georgia, 404-329-1870).

Diagnosis
Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti­ bodi terhadap rubela menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan respon imun terhadap viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat terpapar rubela atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa diten­teramkan karena kemungkinan janin terkena infeksi tersebut sangat kecil.
Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremia akan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu sesudah dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingat viremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar 1 minggu sebelumnya. Karena itu kece­patan respon antibodi dapat mempersulit diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah dimulainya gejala ruam.
Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam, maka de­teksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara kedua kemungkinan ini: (1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut bukan rubela, namun orang tersebut sudah kebal terhadap rubela.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer dalam waktu beberapa bulan.
Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada tes ini terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela. Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks sehingga digantikan dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang baru berupa ELISA (enzyme linked immunoabsorbent assay), PHA (passive agglutination), IFA (Immunofluoresence assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial immunodiffusion tes.

Sindrom Rubella Kongenital
Pada rubela seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubela merupakan teratogen yang poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkan infeksi rubela serta ruam dalam usia kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Miller dkk., 1982).
Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14, insiden ini besarnya 54 persen, dan pada akhir trimester kedua 25 persen. Dengan semakin tinggi usia kehamilan, semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untuk menimbulkan kelainan kongenital. Sebagai contoh, cacat rubela terlihat pada semua bayi yang terbukti menderita infeksi intrauteri sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35 persen bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun tidak terlihat cacat pada 63 anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16 minggu, namun anak-anak tersebut diikuti perkembangannya dalam waktu 2 tahun, dan extended rubella syndrome dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1 mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia dua puluh atau tiga pulub tahun. Kernungkinan sepertiga dari bayi yang asimtomatik pada saat lahir akan memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut (American College of Ob­stetricians and Gynecologists, 1988).
Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau lebih abnormnalitas berikut:
1. Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mi­kroftalmia dan berbagai abnormalitas lainnya
2. Penyakit jantung, termasuk patent ductus arte­riosus defek septum jantung dan stenosis arteri pulmonalis
3. Cacat pendengaran
4. Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis
5. Retardasi pertumbuhan janin
6. Trombositopenia dan anemia
7. Hepatosplenomegali dan ikterus
8. Pneumonitis interstisialis difusa kronis
9. Perubahan tulang
10. Abnormalitas kromosom

6. SITOMEGALOVIRUS
Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-­mana serta pada hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 –2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 % meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa prenatal(5)
Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral diproduksi, namun imunitas yang diperanta­rai oleh sel tampaknya merupakan mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwa berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.
Infeksi Maternal Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 % mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis, limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin pada sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah (Stagno dkk., 1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang terinfeksi lebih besar kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama paruh-pertama kehamilan. Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal terhadap sitomegalovirus tidak mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak mencegah terjadinya infeksi kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat sebagian besar infeksi selama kehamilan bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wa­nita-wanita ini. Untungnya, infeksi kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih jarang disertai dengan sekuele yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital yang disebabkan oleh infcksi primer.
Infeksi Kongenital Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik, menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik, gangguan sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan purpura trombositopenik. Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini dapat mencapai 20 – 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup ternyata mendcrita retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikoniotorik, epilepsy atau pun gangguan sistern saraf pusat lainnya (Pass dkk., 1980).

Diagnosis
Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral kalsifikasi.. Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada serum, baik dalam keadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau dibuat dengan mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum maternal. Sayangnya, tidak satupun di antara kedua metode ini yang benar-benar akurat dalam memastikan infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang handal untuk memeriksa efek dari infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan sonografi atau kultur cairan amnion untuk menemukan sitomegalovirus.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin sudah mengalami gejala yang berat

8.      PARVOVIRUS
Adalah virus kecil mengandung DNA yang menginfeksi berbagai spesies binatang. Parvovirus sebagai penyebab penyakit pada binatang seperti parvosirus amang dan virus panleukopenia kucing. Tetapi parvovirus Big adalah satu-satunya strain yang patogenik pada manusia.

Agen Etiologi
Parvovirus Big adalah anggota dari genus parvovirus dalam famili parvoviridae. Big dibentuk dari protein kapsid ikosahedral tanpa pembungkus yang berisi DNA helai-tunggal dengan panjang 5,5 kb. Agen ini relatif tahan panas dan pelarut. Parvovirus mamalia adalah spesies yang sangat spesifik yang secara antigenik berbeda dengan parvovirus mamalia yang lain, hanya ada 1 serotif yang diketahui. Parvovirus m’p’ banyaka diri dengan pembelahan sel. Karena genomnya terbatas, parvovirus memerlukan adanya faktor sel hospes pada akhir feses untuk bereplikasi. Big hanya dapat diperbanyak dalam sel erimopoetik terangsang eritropoetin berasal dari sumsum tulang manusia atau biakan hati janin primer.

Epidemiologi dan Penularan
70% kasus terjadi antara anak umur 5-15 tahun yang terjadi pada musim dingin dgn musim semi. Survei serologis dari berbagai negara menunjukkan 40-60% orang dewasa mempunyai bukti infeksi sebelumnya.
Penularan Big melalui rute pernafasan melalui penyebaran ooplet yang besar terinfeksi secara intrasel, virus terdeteksi pada sekresi pernafasan 7-11 hari sesudah inokulasi pada saat mereka mengalami viremi. Virus terdeteksi pada sekresi pernafasan anak segera sebelum krisis aplastik. Masa inkubasi untuk eritems infeksiosum berkisar 4-28 hari (rata-rata 16-17 hari).
Kecepatan penularan dalam rumah tangga berkisar 15-30% pada kontak rentan ; ibu-ibu lebih sering terinfeksi daripada ayah. Pada wabah eritems infeksiosum di sekolah dasar , angka serangan sekunder 10-60%, wabah nosokomal 30% pada pekerja perawat yang rentan.
Big dapat ditularkan melalui darah & produk 2x darah seperti pada anak hemosit.

PATOGENESIS dan IMUNITAS
Sasaran utama infeksi Big adalah deretan sel eritroid, secara spesifik prekursor eritroid dekat stadium pronormoblas. Lurus verus sel ini, menyebabkan pengosongan progresif dan penghentian erimoesis sementara. Ytopisme untuk sel eritroid dihubungkan dengan antigen eritrosit grup darah p supresi eriropoesis virus ini vitro berbanding terbalik dengan anti bodi Big serum konualesen. Imunitas humoral penting dalam mengendalikan infeksi trombositopenia dan neutropenis seering teramati tetapi patogenesisnya tidak dapat dijelaskan.
Individu dengan keadaan hemolisis kronik & peningkatan pengantian sel darah merah adalah sangat rentantrerhadap gangguan pada eritropoesis.
Anak yang dengan kemoterapi leukimia dan penderita dengan AIDS ada pada resiko untuk infeksi Big kronik.
Infeksi pada janin dan neonetus agtak analog dengan infeksi pada hospes terganggu inun. Big dihubungkan dengan hidrops janin nonimun dan lahir mati pada wanita yang mengalami infeksi primer. Seperti parvovirus mamalia, Big dapat melewati plasenta dan masuk ke janin selama infeksi ibu primer. Infeksi selama hamil menyebabkan persalinan normal cukup bulan. Beberapa dari bayai yang tidak bergejala ini dilaporkan menderita infeksi pasca lahir Big kronik. Infeksi janin menimbulkan anemis yang berat selanjutnya kegagalan jantung curah-tinggi berpengaruh langsung virus pada jaringan miokardium.

ERITEMA INFEKSIOSUM (Penyakit Kelima)
Manifestasi parvovirus Big yang sering adalah eritema infeksiosum, adalah penyakit eksantemartosa anak, sembuh sendiri, jinak. Ia adalah ke-5 dalam skema klasifikasi eksentema anak : yang lain adalah rubells, campak, demam skarlet, & penyakit filator-Dukes. Tanda khas penyakit ke-5 : fase prodormal ringan & terdiri dari demam ringan, nyeri kepala & gejala – gejala infeksi saluran pernafasan atas ringan. Ruam khas Eritema Infeksiosum (EI) terdiri dari stadium awal yaitu kemerah-merahan muka eritematosa seperti “pipi tertampar”. Ruam menyebar cepat sampai kebadan dan tungkai proksimal pada stadium ke-2. pembersihan sentral lesi makuler.

Krisis Aplastik Sementara
Individu dengan keadaana hemolitik kronik dapat mengalami aplasia sel darah merah sementara sesudah kontak dengan B19. penghentian sementara eritropoenis dan retikulositopena absolut yang terpicu oleh infeksi B19 menimbulkan penurunan hemoglobin serum mendadak. Sakit dengan demam, malaise, dan letargi, tanda-tanda dan gejala-gejala anemia berat seperti pucat, takikardia dan takipnea. Ruam jarang ada. Anak dengan hemoglobinopati sabit dapat mengalami krisis nyeri vaso-oklusif yang bersamaan. Krisis aplastik yang terangsang B19 terjadi pada penderita dengan semua jenis hemolisik kronik, termasuk penyakit sel sabit, talassemia, sferositosis heriditer, dan defisiensi piruvat kinase.
Artropati
Artritis dan artralgia sebagai komplikasi panyakit kelima, 60% orang dewasa dan 80% wanita dewasa melaporkan gejala-gejala sendi. Gejala-gejala sendi berkisar dari artralgia difus dengan kekakuan pada pagi hari (morning stiffness) sampai artritis yang jelas. Seperti pada tangan, pergelangan tangan, lutut dan pergelangan kaki. Gejala-gejala sendi sembuh sendiri dan, pada sebagian besar penderita yang mempunyai perjalanan yang lama sampai beberapa bulan, memberi kesan artritis reumatoid.

Infeksi pada hospes terganggu imun
Infeksi kronik ditemukan pada anak ditemukan pada anak dengan kanker yang sedang mendapat kemoterapi sitotoksik, anak0anak yang dengan sindrom imunodefisiensi didapat kongenital (AIDS), dan penderita dengan defek pada perpindahan kelas IgG yang tidak mampu menghasilkan antibodi neutralisasi.

Infeksi janin
Mekanisme penyakit janin tampak merupakan aplasia sel darah merah akibat virus pada saat fraksi eritroid janin meluas dengan cepat. Menyebabkan anemia berat, gagal jantung, dan hidrops, DNA virus telah terdeteksi pada abortus yang terinfeksi.

Penegahan
Ibu hamil sebaiknya menjaga kontak terhadap binatang yang dapat menimbulkan penyakit parvovirus
Ibu hamil sebaiknya menjaga kebersihan dan kesehatan selama hamil agar janin yang akan dilahirkan lahir normal tidak ada kecacatan yang akan dibawa oleh janin maupun ibu.

9.      INFEKSI SALURAN NAFAS
Pengertian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan sekelompok penyakit kompleks dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan dapat mengenai setiap lokasi di sepanjang saluran nafas (WHO, 1986).
ISPA merupakan salah satu penyebab utama dari tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada balita dan bayi di Indonesia. Dalam Pelita IV penyakit tersebut mendapat prioritas tinggi dalam bidang kesehatan (Depkes, 1998).
Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Adapun yang termasuk ISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronkhitis akut, brokhiolitis, dan pneumonia (Yuliastuti, 1992).
Menurut hasil lokakarya ISPA II tahun 1988, ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung dalam jangka waktu sampai 14 hari, dimana yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ dan hidung sampai alveoli beserta organ-organ adneksanya (misalnya sinus paranasalis, ruang telinga tengah, pleura).
Saluran pernafasan menurut anatominya dapat dibagi menjadi saluran pernafasan atas, yaitu mulai dari hidung sampai laring, dan saluran pernafasan bawah, mulai dari laring sampai alveoli (Nelson, 1983; Said dkk, 1989). Dengan demikian, infeksi saluran pernafasan akut dapat dibagi menjadi ISPA atas dan ISPA bawah. Yang dimaksud ISPA atas ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi susunan saluran pernafasan di atas laring, sedangkan ISPA bawah ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi saluran pernafasan bawah laring (Nelson, 1983).

Morbiditas dan mortalitas
Insiden ISPA anak di negara berkembang maupun negara yang telah maju tidak berbeda, tetapi jumlah angka kesakitan di negara berkembang lebih banyak (WHO, 1992). Berbagai laporan mennyatakan bahwa ISPA anak merupakan penyakit yang paling sering pada anak, mencapai kira-kira 50% dari semua penyakit balita dan 30% pada anak usia 5-12 tahun. Umumnya infeksi biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, hanya kurang dari 5% yang mengenai saluran pernafasan bawah.
Kejadian ISPA pada balita lebih sering terjadi di daerah perkotaan dibandingkan pada balita di daerah pedesaan. Seorang anak yang tinggal di daerah perkotaan akan mengalami ISPA sebanyak 5-8 episode setahun, sedangkan bila tinggal di pedesaan sebesar 3-5 episode (WHO, 1992).
ISPA merupakan penyakit yang utama dari layanan rawat jalan meliputi 25-40% balita yang berobat, dan ISPA pula yang merupakan penyebab rawat inap balita di rumah sakit sekitar 30-35% dari seluruh balita yang dirawat inap.
Angka kematian yang tinggi karena ISPA khususnya pneumonia masih merupakan masalah di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. WHO (1992) memperkirakan 12,9 juta balita meninggal dunia karena ISPA terutama pneumonia.
Menurut survei kesehatan rumah tangga (1990) ISPA merupakan penyakit yang menyebabkan kematian nomor dua setelah diare, tetapi terjadinya perubahan proporsi kematian pada SKRT 1986 dan 1992, ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan nomor dua pada balita (Darmawan, 1995).

Penyebab
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil (WHO, 1984). Dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine disebutkan bahwa penyakit infeksi saluran nafas akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral (Adams dkk, 1988), sedangkan infeksi akut saluran nafas bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri di mana Streptococcus Pneumonia adalah yang bertanggung jawab untuk kurang lebih 70-90%, sedangkan Stafilococcus Aureus dan H. Influenza sekitar 10-20% (Robert, 1986). Saat ini telah diketahui bahwa infeksi saluran pernafasan akut ini melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1984).
Nelson (1983) juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pnemonia dengan distribusi lobular.
Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, parainfluenza, dan virus influenza A & B.

Faktor resiko
Beberapa faktor mempengaruhi tingginya mortalitas dan morbiditas ISPA serta berat ringannya penyakit, faktor inilah yang dikenal sebagai faktor risiko. Berbagai penelitian mengenai faktor risiko telah dilakukan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Nampaknya faktor risiko di negera industri agak berlainan dari faktor risiko di negara berkembang. Beberapa faktor risiko yang telah diketahui antara lain, malnutrisi, kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR), pemberian ASI, kepadatan hunian, sosioekonomi yang rendah, asap rokok, cuaca, pendidikan orang tua, dan lain-lain. Sedangkan beberapa lainnya masih diperdebatkan, seperti peran vitamin A. Secara umum faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi faktor diri (host) dan faktor lingkungan (Koch et al, 2003).
Menurut WHO (1992) beberapa faktor yang telah diketahui mempengaruhi pneumonia dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak di tenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain.

Klasifikasi ISPA anak
Banyaknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut ini cukup menyulitkan dalam klasifikasi dari segi kausa, hal ini semakin nyata setelah diketahui bahwa satu organisme dapat menyebabkan beberapa gejala klinis penyakit serta adanya satu macam penyakit yang bisa disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme tersebut (Mandal, dkk, 1984).
Oleh karena itu klasifikasi ISPA hanya didasarkan pada :
1. Lokasi Anatomis
a. Infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Merupakan infeksi akut yang menyerang hidung hingga faring.
b. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
Merupakan infeksi akut yang menyerang daerah di bawah faring sampai dengan alveolus paru-paru.

2. Derajat keparahan penyakit
WHO (1986) telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988. Adapun pembagiannya sebagai berikut :
a. ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :
  • Batuk
  • Pilek dengan atau tanpa demam
b. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
  • Pernafasan cepat.
Umur < 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.
Umur 1-4 tahun : 40 kali / menit atau lebih.
  • Wheezing (nafas menciut-ciut).
  • Sakit/keluar cairan dari telinga.
  • Bercak kemerahan (campak).
Khusus untuk bayi <2 bulan hanya dikenal ISPA ringan dan ISPA berat dengan batasan frekuensinya nafasnya 60 kali / menit.
c. ISPA berat
Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
  • Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi.
  • Kesadaran menurun.
  • Bibir / kulit pucat kebiruan.
  • Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat.
  • Adanya selaput membran difteri.
Depkes RI (1991) membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda klinis yang didapat yaitu :
a. Untuk anak umur 2 bulan - 5 tahun.
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu
  • Pneumonia berat
Tanda utama :
  • Adanya tanda bahaya, yaitu tak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, serta gizi buruk.
  • Adanya tarikan dinding dada ke belakang. Hal ini terjadi bila paru-paru menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas.
Tanda-tanda lain yang mungkin ada :
  • Nafas cuping hidung
  • Suara rintihan
  • Sianosis (pucat)
  • Pneumonia (tidak berat)
Tanda :
  • Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
  • Disertai nafas cepat :
Lebih dari 50 kali / menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
Lebih dari 40 kali / menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
  • Bukan Pneumonia
Tanda :
  • Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
  • Tak ada nafas cepat :
Kurang dari 50 kali / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun.
Kurang dari 40 kali / menit untuk anak usia 1 tahun – 5 tahun.
b. Anak umur kurang dari 2 bulan
Untuk anak dalam golongan umur ini, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
  • Pneumonia berat
Tanda :
  • Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam atau dingin.
  • Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali / menit atau lebih, atau
  • Tarikan dinding dada ke dalam yang kuat.
  • Bukan Pneumonia
Tanda :
  • Tidak ada nafas cepat.
  • Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Dalam International Classification of Disease dalam bagian Diseases of the Respiratory System revisi yang kesepuluh, ISPA dibagi berdasar atas letak anatomi saluran pernafasan serta penyebabnya. Pembagian ini meliputi hal di bawah ini :
a. Infeksi saluran nafas atas akut
  • Nasofaringitis akut (commond cold)
  • Sinusiatis akut
  • Faringitis akut : faringitis streptokokus dan faringitis karena sebab lain
  • Tonsilitis akut : tonsilitis streptokokus dan tonsilitis karena sebab lain
  • Laringitis dan trakeitis akut
  • Epiglotitis dan laringitis obstruktif akut (croup)
b. Influenza dan pneumonia
  • Influenza dengan virus yang teridentifikasi
  • Influenza dengan virus tak teridentifikasi.
  • Pnemonia viral (Pnemonia karena adenovirus, Pnemonia oleh virus sinsitium saluran pernafasan, Pnemonia oleh virus parainfluenza, Pnemonia oleh virus lain)
  • Pneumonia oleh streptokokus pnemonia.
  • Pneumonia oleh karena Hemofilus influenza.
  • Pneumonia bakterial lainnya.
  • Pneumonia oleh sebab organisme lain.
c. Infeksi saluran nafas bawah akut lainnya.
  • Bronkitis akut.
  • Bronkiolitis akut
  • Infeksi saluran nafas bawah akut lain.

2.2 PENYAKIT – PENYAKIT YANG DISEBABKAN INFEKSI BAKTERI
DAN PENANGGULANGANNYA

1. STREPTOKOKUS GRUP A

Penyakit – penyakit yang disebabkan oleh infeksi streptokokus Dari streptokokus grup a (beta hemolitik) ICD-9 034, 035, 670; ICD-10 A49.1, J02.0, A38, L01.0, A46, 085 (Radang tenggorokan disebabkan Streptokokus, Infeksi Streptokokus, demam Scarlet, Impetigo, Erisipelas, Infeksi Nifas, Demam Rematik)
1.   Identifikasi
Streptokokus Grup A dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Paling banyak dijumpai adalah radang tenggorokan karena Streptokokus (ICD-10 J02.0) dan infeksi kulit oleh Streptokokus (impego atau pioderma). Penyakit lainnya termasuk demam Scarlet (ICD-10 A38), infeksi nifas (ICD-10 085), septikemia, erisipelas, selulitis, mastoiditis, otitis media, pneumonia, peritonsilitis, infeksi luka dan yang jarang terjadi yaitu necrotizing fasciitis, demam rematik dan toxic shock like syndrome. Jika terjadi suatu KLB maka salah satu bentuk klinis sering kali lebih dominan.
Penderita dengan radang tenggorokan yang disebabkan streptokokus ditandai dengan munculnya demam secara tiba-tiba, sakit pada tenggorokan, tonsillitis exudativa atau faringitis dan terjadi pembesaran kelenjar limfe leher bagian depan. Faring, kripte tonsil dan palatum molle berwarna merah dan bengkak, mungkin timbul petekie berlatar belakang warna kemerahan dan menyebar.
Gejala klinis yang timbul dapat minimal (sedikit) atau tidak ada sama sekali. Dapat terjadi otitis media atau abses peritonsiler, dan setelah 1 – 5 minggu kemudian dapat muncul glomerulonefiritis akut (rata-rata = 10 hari) atau demam rematik akut (rata-rata = 19 hari). Pada demam rematik dapat muncul Chorea Sydenham beberapa bulan setelah infeksi Streptokokus, penyakit jantung rematik terjadi beberapa hari atau minggu setelah infeksi streptokokus akut.
Infeksi kulit oleh Streptokokus (pioderma, impetigo) biasanya menyerang dibagian superficial kulit dan dapat berkembang menjadi bentuk vesikuler, pustuler dan berkrusta. Ruam Scarlatiniform jarang terjadi dan tidak mengakibatkan demam rematik, namun glomerulonefiritis dapat terjadi 3 minggu setelah infeksi kulit.
Demam scarlet adalah salah satu bentuk dari infeksi Streptococcal dengan ciri ruam pada kulit, ini terjadi apabila infeksi disebabkan oleh Streptokokus yang menghasilkan eksotoksin pirogenik (toksin eritrogenik) dan penderita disensitisasi namun tidak kebal terhadap toksin tersebut. Gejala klinis yang khas pada demam scarlet antara lain meliputi semua gejala yang ada pada radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptokokus (atau gejala infeksi pada luka, pada kulit atau pada infeksi nifas) enanthem, strawberry tongue dan exanthem. Ruam biasanya berupa eritema, punctata, memucat jika ditekan, sering teraba (seperti ampelas) dan muncul paling sering pada leher, dada, bahu, lipat ketiak, daerah inguinal, permukaan bagian dalam dari paha.
Ciri khas dari demam scarlet adalah ruam tidak pada muka, namun pipi terlihat merah dan disekitar mulut terlihat pucat.  Demam tinggi, mual dan muntah sering meyertai infeksi yang berat. Selama masa konvalesen terjadi deskuamasi kulit pada ujung jari tangan dan kaki, jarang terjadi pada daerah yang luas pada tubuh dan bibir, termasuk telapak tangan dan telapak kaki, deskuamasi terlihat jelas pada eksantem yang berat. Case Fatality Rate (CFR) di beberapa tempat kadang-kadang mencapai lebih dari 3%. Demam scarlet mungkin diikuti dengan gejala sisa yang sama dengan radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptokokus.
Erisipelas adalah selulitis akut ditandai dengan demam, gejala umum, leukositosis dan lesi kulit berwarna merah, lunak, edematus, sering dengan peninggian kulit dengan batas jelas. Pada bagian tengah lesi cenderung lenyap pada saat bagian tepi meluas. Muka dan kaki adalah bagian tubuh yang paling sering terkena. Penyakit ini sering kambuh kembali dan lebih banyak menyerang wanita dan gejala menjadi lebih berat jika disertai dengan bakteriemia, dan pada orang engan debilitas. Case Fatality Rate (CFR) sangat bervariasi tergantung pada bagian tubuh yang terserang dan adanya komplikasi. Erisipelas karena streptokokus grup A berbeda dengan erisipeloid yang disebabkan oleh Erysipelotrhix rhusiopathiae yaitu infeksi lokal pada kulit, merupakan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yaitu menginfeksi orang-orang yang menangani ikan air tawar atau kerang, babi yang terinfeksi, kalkun dan jarang infeksi berasal dari kambing, sapi, ayam atau burung.
Selulitis Perianal yang disebabkan Streptokokus grup A diketahui lebih sering terjadi pada akhir akhir ini. Infeksi Streptokokus masa nifas/demam nifas adalah penyakit akut, biasanya muncul panas disertai dengan gejala lokal dan umum serta tanda-tanda invasi bakteri pada saluran genitalia dan kadang-kadang bakteri masuk dalam aliran darah pada penderita post partum atau post abortus. Case Fatality Rate (CFR) pada demam nifas ini bisa ditekan serendah mungkin bila mendapat pengobatan yang kuat. Infeksi streptokokus masa nifas mungkin disebabkan oleh organisme selain streptokokus hemolitikus; gejala klinisnya akan nampak sama, yang berbeda adalah pada sifat bakteriologis dan epidemiologinya (lihat penyakit Stafilokokus).
Toxic Shock Syndrome (TSS) yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A di AS meningkat sejak tahun 1987. Gejala klinis yang menonjol adalah hipotensi dan salah satu dari gejala berikut yaitu kerusakan ginjal; trombositopenia; Disseminated Intravascular Coagulation/DIC; peningkatan SGOT atau peningkatan kadar bilirubin; sindroma gagal pernafasan pada orang dewasa; ruam eritematus makuler menyebar atau nekrosis jaringan lunak (necrotizing fasciitis) oleh media dinamakan “flesh-eating bacteria”. TSS dapat muncul dalam bentuk sistemik ataupun lokal (tenggorokan, kulit, paru)
Streptokokus grup lain dapat juga menyebabkan penyakit pada manusia. Streptokokus Beta-hemolitik grup B sering ditemukan pada vagina dan dapat menyebabkan sepsis neonatal dan meningitis supurativa pada neonatus (lihat tentang infeksi streptokokus grup B, pada neonatus dibawah) dan juga dapat menyebabkan infeksi pada saluran kencing, endometritis post partum dan penyakit sistemik lainnya pada orang dewasa, terutama pada penderita diabetes mellitus. Sedangkan organisme grup D (termasuk enterokokus), baik yang hemolitik maupun yang nonhemolitik, sebagai penyebab endokarditis bakteriil sub akut dan penyebab infeksi saluran kencing. Grup C dan G menyebabkan KLB tonsilitis biasanya ditularkan melalui makanan. Peran organisme ini terhadap timbulnya kasus sporadis belum diketahui dengan jelas. Glomerulonefritis muncul setelah infeksi grup C, namun sangat jarang terjadi pada infeksi grup G. Grup G dan Grup C tersebut sama-sama tidak menyebabkan demam rematik. Infeksi grup C dan G lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Streptokokus Alfa-hemolitik juga sering dapat menyebabkan terjadinya endokarditis bakteriil sub akut.
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan untuk menemukan streptokokusl grup A adalah dengan isolasi organisme dari sampel jaringan yang ditanam dalam media agar darah atau media lain yang tepat atau identifikasi antigen streptokokus grup A dari sekret faring (test cepat strep). Pada media pembiakan streptokokus dapat diidentifikasi dari bentuk morfologi koloninya dan รข-hemolisis yang dihasilkan pada media agar darah domba. Identifikasi tentatif dilakukan dengan tes inhibisi dengan menggunakan cakram antibiotik yang mengadung 0,02 – 0,04 unit basitrasin. Sedangkan identifikasi pasti menggunakan prosedur serogruping spesifik. Tes deteksi antigen juga dapat digunakan untuk identifikasi cepat. Kenaikan titer antibodi serum (antistreptolysin O, anthihyaluronidase, anti-DNA-ase B) mungkin dapat ditemukan di antara stadium akut dan konvalesen, titer yang tinggi dapat terus bertahan sampai beberapa bulan.
Di AS hal praktis yang disarankan adalah pertama kali lakukan dulu rapid strep test (yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah) dan jika hasilnya positif diasumsikan penderita terinfeksi streptokokus grup A. Jika hasilnya negatif atau meragukan dianjurkan untuk melakukan kultur spesimen tenggorokan.

2.   Penyebab penyakit
Penyebab penyakit adalah Streptococcus pyogenes, streptokokus grup A secara serologis dibedakan menjadi sekitar 80 tipe, yang bervariasi menurut letak geografis dan waktu penyebaran. Streptokokus grup A yang menyebabkan infeksi kulit berbeda tipe serologisnya dengan penyebab infeksi tenggorokan. Pada demam scarlet, ditemukan tiga tipe imunologis berbeda dari erythrogenic toxin (pyrogenic exotoxins A, B, dan C). Sedangkan pada TSS 80% isolat menghasilkan pyrogenic exotoxin A. Sedangkan รข hemolisis adalah ciri khas dari streptokokus grup A, strain grup B, C dan strain grup G sering juga รข hemolitik . Strain mucoid tipe M menyebabkan KLB demam rematik dan nekrosis fasciitis.

3.   Distribusi penyakit
Radang tenggorokan yang disebabkan oleh infeksi streptokokus dan demam scarlet paling sering terjadi di negara subtropis, maupun dinegara berikilim dingin dan jarang ditemukan di negara-negara beriklim tropis. Infeksi tanpa gejala lebih sering ditemukan di negara tropis dibandingkan dengan di negara beriklim dingin.
Di AS infeksi streptokokus dapat muncul dalam bentuk endemis, epidemis atau sporadis. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi streptokokus paling sering ditemukan pada usia 2 – 3 tahun dan puncaknya pada usia 6 – 12 tahun dan menurun pada usia yang lebih tua. Infeksi terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya pada musim dingin dan awal musim semi.
Infeksi oleh streptokokus Grup A disebabkan oleh tipe spesifik tertentu dari protein M (M types), terutama tipe 1, 3, 4,12 dan 25 sering menyebabkan glomerulonefritis akut.
Demam rematik akut merupakan komplikasi non supuratif dari infeksi streptokokus Grup A yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Tadinya demam rematik akut sudah lama tidak ditemukan lagi dinegara-negara maju, namun pada tahun 1985 tiba-tiba terjadi KLB di AS. Pada tahun 1990-an terjadi peningkatan jumlah penderita demam reumatik yang dilaporkan dari berbagai negara bagian di AS. Kebanyakan ksus yang dilaporkan sebagai akibat dari infeksi streptokokus Grup A seperti tipe M 1, 3 dan 18 yang bersifat rematogenik.
Demam rematik di negara-negara berkembang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Insidensi tertinggi ditemukan muncul biasanya sesudah terjadi faringitis. Usia 3 – 15 tahun adalah yang paling sering terserang; komunitas yang paling sering terserang adalah anak-anak sekolah dan personil militer.
Bersamaan dengan munculnya kembali demam rematik muncul infeksi streptokokus dengan gejala yang lebih berat seperti infeksi dengan gejala umum yang lebih berat dan Toxic Shock Syndrome (TSS).
Di AS setiap tahun dilaporkan sekitar 10.000 – 15.000 penderita dengan infeksi streptokokus Grup A berat, 5% - 19% (500 – 1.500 kasus) berkembang menjadi necrotizing fasciitis.
Insidens tertinggi dari impetigo streptokokus yang menyerang anak-anak adalah pada musim panas, musim gugur didaerah dengan iklim panas. Timbulnya nefritis setelah infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus tipe M (seperti tipe 2, 49, 55, 57, 58, 59, 60 dan tipe lain yang lebih tinggi), berbeda dengan tipe streptokokus yang menyebabkan nefritis setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Distribusi geografis dan distribusi menurut variasi musim erysipelas sama dengan scarlet fever dan faringitis. Erisipelas lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan mereka yang berusia diatas 20 tahun. Biasanya muncul secara sporadic walaupun pada saat terjadi KLB dari infeksi streptokokus.
Untuk demam nifas, tidak tersedia cukup data yang dapat dipercaya. Dinegara maju morbiditas dan mertalitas demam nifas mengalami penurunan drastic semenjak ditemukannya berbagai jenis antibiotika.
Saat ini demam nifas muncul secara sporadic walaupun kadang-kadang muncul sebagai KLB di institusi-institusi kesehatan yang kurang memperhatikan prosedur aseptik.
4.   Reservoir: - Manusia

5.   Cara penularan
Melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita atau carrier, jarang melalui kontak tidak langsung. Penyebaran lewat carrier hidung merupakan cara utama dalam penularan penyakit ini. Kontak secara kebetulan jarang menyebabkan infeksi. Pada populasi dimana impetigo banyak dijumpai, streptokokus grup A ditemukan pada kulit normal 1 – 2 minggu sebelum lesi kulit timbul. Strain yang sama ditemukan pada tenggorokan (tanpa menimbulkan gejala klinis pada tenggorokan) biasanya ditemukan belakangan saat terjadi infeksi kulit.
Carrier anal, vagina, kulit dan faring diketahui sebagai penyebab KLB nosokomial infeksi streptokokus yang serius pasca bedah. Beberapa KLB yang dilaporkan terjadi di kamar operasi disebabkan oleh petugas sebagai carrier strain streptokokus. Untuk menemukan carrier memerlukan penyelidikan epidemiologis yang intensif ditunjang dengan dukungan laboratorium dan pemeriksaan mikrobiologis yang memadai. Menghilangkan status carrier pada seseorang memerlukan upaya khusus dengan memberikan berbagai jenis antibiotika yang berbeda dan biasanya sakit.
Partikel yang mengandung streptokokus lepas keudara melalui barang-barang yang terkontaminasi (seperti debu lantai, sprei, saputangan, namun partikel ini tidak infeksius untuk kulit dan selaput lendir yang intak (utuh))
KLB radang ternggorokan yang disebabkan oleh streptokokus disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi, yang paling sering terkontaminasi oleh streptokokus adalah susu dan produk olahannya, salad telur dan telur rebus juga sering dilaporkan menjadi sumber penularan sterptokokus grup A dari manusia dapat menular kepada sapi dan menularkan kepada orang lain melalui susu sapi ini; sedangkan streptokokus Grup B yang menimbulkan penyakit pada manusia dan yang menyebabkan penyakit pada sapi secara biokimiawi berbeda satu sama lain. Terjadinya kontaminasi pada susu dan makanan yang mengandung telur merupakan cara penularan yang paling sering. Pernah juga ditemukan KLB streptokokus Grup C yang ditularkan oleh sapi.

 6.   Masa inkubasi: Pendek, biasanya 1 – 3 hari, jarang lebih lama.

7.   Masa Penularan
Masa penularan dari penderita yang tidak diobati dan yang tidak mengalami komplikasi biasanya berlangsung selam 10 – 21 hari; sedangkan pada penderita yang tidak diobati namun mengeluarkan discharge purulen masa penularan berlansung berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Dengan pemberian penisilin yang tepat dalam waktu 24 jam penderita sudah tidak menular lagi. Penderita faringitis yang tidak diobati tetap mengandung organisme ini selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan namun secara bertahap jumlahnya berkurang; tingkat penularan menurun drastis 2-3 minggu setelah infeksi.

8.   Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap infeksi streptokokus maupun demam scarlet, walaupun sebagian orang dalam tubuhnya membentuk antitoksin maupun antibodi spesifik setalah infeksi tanpa gejala. Antibodi hanya terbentuk terhadap streptokokus grup A tipe M, dan biasanya bertahan selama bertahun-tahun. Pemberian antibiotika dapat mempengaruhi pembentukan antibodi spesifik.
Semua ras dan suku bangsa rentan terhadap infeksi streptokokus dan jika ada perbedaan disebabkan karena perbedaan faktor lingkungan. Infeksi ulang oleh strain yang berbeda sering terjadi. Kekebalan terhadap toksin eritrogenik terbentuk seminggu setelah munculnya gejala demam scarlet dan biasanya permanen; serangan demam scarlet untuk kedua kalinya jarang terjadi, dan bila terjadi disebabkan adanya tiga jenis toksin yang berbeda.
Kekebalan pasif terhadap streptokokukus grup A pada bayi baru lahir didapat dari ibunya melalui plasenta. Penderita yang pernah terserang demam rematik akan mendapat serangan ulang jika terjadi infeksi ulang streptokokus grup A dan diikuti dengan kerusakan jantung.
Erisipelas dapat muncul berulang kali pada seseorang. Sedangkan glomerulonefritis biasanya tidak pernah berulang.

9.   Cara-cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1.      Berikan Penyuluhan kepada masyarakat dan kepada petugas kesehatan tentang cara-cara penularan penyakit ini, tentang hubungan infeksi streptokokus dengan demam rematik akut, chorea sydenham, penyakit jantung rematik, glomerulonefritis dan tentang pentingnya diagnosa pasti serta dijelaskan bahwa antibiotika yang diberikan untuk terapi infeksi streptokokus, agar diminum sesuai dengan jadwal yang disuruh dokter.
2.      Sediakan fasilitas laboratorium yang memadai untuk identifikasi streptokokus hemolitik grup A.
3.      Lakukan Pasteurisasi terhadap susu dan melarang orang yang terinfeksi menangani susu untuk mencegah kontaminasi.
4.      Siapkan makanan beberapa saat sebelum dikonsumsi; jika jarak waktu antara penyiapan manakan dan saat konsumsi agak lama simpanlah makanan tersebut pada suhu kurang dari 5o C (41o F) dan dalam jumlah yang sedkit.
5.      Orang yang mempunyai lesi pada kulit dilarang menangani makanan.
6.      Pencegahan komplikasi sekunder : untuk mencegah infeksi streptokokus kembali dan berulangnya demam rematik, erisipelas atau chorea adalah dengan injeksi benzathin penicillin G long acting tiap bulan (atau pemberian penisilin oral tiap hari, jika pasien patuh) diberikan kurang lebih selama 5 tahun. Jika pasien tersebut tidak tahan terhadap penisilin dapat diberikan sulfisoxasole per oral.

2. STREPTOKOKUS GRUP B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi rat pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum endometritis dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.
Dalam tahun 1970-an, infeksi streptokokus grup B pada neonatus mengalami peningkatan luar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadi penurunan frekuensi infeksi tersebut. Penyebab terjadinya peningkatan yang mencolok atau penurunan berikutnya tidak dengan jelas. Transmisi intrapartum streptokokus grup B dari traktus genitalis maternal dengan kolonisasi kuman tersebut kepada janin, dapat menimbulkan sepsis berat pads bayi segera sesudah dilahirkan. Tergantung pada populasi yang diteliti, sebanyak 10 hingga 40 persen ibu data stadium kehamilan lanjut mengalami kolonisasi streptokokus grup B dalam traktus genitalis bagian distal, dan separuh dari bayi yang baru dilahirkan akan terkena infeksi ini serta mengalami kolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang ditransmisikan dari ibu akan melindungi kebanyakan bayi ini; tetapi, 1 hingga 2 persen dari bayi tersebut akan menderita kelainan secara klinis. Bayi-bayi prematur atau dengan berat badan lahir yang rendah merupakan bayi yang menghadapi risiko paling tinggi, namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsis streptokokus neonatal ternyata berupa neonatus yang aterm. Bagi bayi yang mengalami infeksi ini, angka mortalitasnya mendekati 25 persen.
Pada septikemia akibat streptokokus grup B yang menandai penyakit dengan onset dini, tanda-tanda sakit yang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudah bayi lahir. Yang khas, selaput ketuban sudah pecah bebe­rapa saat sebelum persalinan, atau persalinan tersebut ter­jadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat badan lahir yang rendah menghadapi kemungkinan lcbih besar untuk menderita infeksi klinis serius. Tanda-tanda infeksi dengan onset dini mencakup gawat pernafasan, apnea dan syok.
Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat gawat pernafasan idiopatik dan takipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan segera de­ngan pemberian antibiotik di saroping penanganan masalah respirasinya, harus dilakukan untuk mempertahankan ke­langsungan hidup bayi. Angka mortalitas pada penyakit dengan onset yang dini bervariasi dari 30 hingga 90 persen, dan prognosis untuk bayi prematur lebih buruk Penyakit dengan onset lanjut biasanya terlihat sehagai meningitis yang timbul sate minggu atau lebih sesudah la­hir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dini bervariasi antara bayi yang satu dengan lainnya, nantun mikroorganisme yang paling sering ditemukan dalam tubuh bayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang tcr­dapat di dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling sering discbabkan oleh mikroorganisme serotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun cukup tinggi, lebih rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari pada sepsis dengan onset dini.

Diagnosis
Diagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu yang diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan kultur, yang tidak adekuat untuk intrapartum skrenning.
Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan hapus dari vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini hanya dilakukan pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus dan memerlukan pengobatan segera.

3. LISTERIOSIS
Organisme ini adalah gram positip dimana 1 sampai 5 persen dari dewasa memiliki lesteria yang ditemukan di feses. Transmisi ditemukan dari makanan yang terkontaminasi atau susu yang busuk. Sering ditemukan pada penderita usia muda- tua, wanita hamil, penderita dengan daya tahan yang turun. Pada wanita hamil hanya berupa asimtomatik seperti panas badan influenza. Wanita dengan listeriosis dapat menyebabkan fetal infeksi yang terlihat beruapa disseminated granulomatous lesion. Pada bayi kemungkinan untuk terkena infeksi ini sebesar 50 persen. manifestasi pada bayi setelah tiga atau empat minggu setelah lahir. Infeksi ini serupa dengan dengan yang disebabkan oleh grup B haemolytic.streptococcus.


4. MORBUS HANSEN
Penyakit lepra (kusta) ditularkan oleh penderita lepra setelah hubungan erat dan lama. Biasanya penularan terjadi dalam masa kanak-kanak, akan tetapi mas latennya sangat lama , masa inkubasinya bervariasi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun
Infeksi laten menjadi nyata atau penyakitnya menjadi lebih jelas oleh faktor-faktor yang menjadi daya tahan penderita, seperti purbertas , kehamilan, dan 6 bulan pertama setelah kelahiran , karena itu penderita sebaiknya tidak menjadi hamil. Dalam penanganan lepra dalam kehamilan yang penting ialah pencegahan anak terhadap infeksi.
Mycobacterium dapat dijumpai dalam plasenta dan tali pusat. Walaupun demikian, seperti halnya dengan tuberculosis, infeksi kongenital sangat jarang. Duncan (1980), melaporkan dalam penelitiannya terhadap penderita lepra yang hamil, bahwa bayi yang dilahirkan lebih sering mengalami pertumbuhan janin yang terhambat dan plasentanyapun berukuran lebih kecil dari normal.Pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut mengalami keterlambatan pula. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh status imunitas yang rendah pada ibu. Bila seorang ibu mengalami infeksi lepra, pemisahan anak-anak dari ibunya sejak kelahiran sangat dianjurkan, sampai ibunya sembuh benar. Apabila tidak, maka 25 % kemungkinan anaknya menderita lepra.
Pengobatan memerlukan waktu yang sangat lama (sampai beberapa tahun). Sekarang diberikan dengan obat-obat sulfa (diaminodietilsulfon), juga dalam kehamilan. Berdasarkan penelitian diketahui pula bahwa ibu yang menderita lepra dan mendapat poengobatan sulfa, dapat kontak dengan bayinya pada saat menyusui saja. Dengan cara ini penularan tidak akan terjadi.

5. TOKSOPLASMOSIS
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Infeksi ditularkan lewat or­ganisme berkista dengan memakan daging mentah atau kurang matang, dan terinfeksi protozoa tersebut atau lewat kontak dengan kotoran kucing yang terinfeksi, atau infeksi ini dapat terjadi secara kongenital melalui penularan trans­plasenta.

Patogenesis
Imunitas maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap penularan transplasental parasit tersebut; dengan demikian, agar terjadi toksoplasmosis kongenital, ibu harus mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya. Sekitar sepertiga dari para wanita di Amerika Serikat, mendapatkan antibodi pelindung sebelum hamil dan kadar antibodi ini lebih tinggi di antara wanita yang memelihara kucing seba­gai binatang kesayangan.
Keluhan mudah lelab, nyeri otot dan kadangkala limfadenopati ditemukan pada ibu yang terinfeksi, namun in­feksi maternal tersebut paling sering terjadi secara subkli­nis. Infeksi pada kehamilan dapat mcnyebabkan abortus atau mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan gejala penya­kit tersebut. Risiko terjadinya infeksi meningkat menurut lamanya kehamilan dan kurang-lebih 15,30 serta 60 persen dalam trimester pertama, kedua dan ketiga (Remington dan Desmonts, 1983).
Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi maternal didapat secara awal dalam kehamilan-untungnya keadaan ini jarang terjadi. Kurang dari sepuluh persen neonatus dengan toksoplasmosis kongenital memperlihatkan tanda­ tanda sakit secara klinis pada scat lahir. Bayi yang terkena biasanya mcmperlihatkan tanda-tanda penyakit yang menyeluruh dengan berat badan lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia. Sebagian bayi terutama men­derita penyakit neurologi dengan konvulsi, kalsifikasi in­trakranial dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Kedua kelompok bayi tersebut pada akhirnya akan mengalami korioretinitis.

Diagnosis
Tes yang paling membantu untuk menegakkan diagnosis ini adalah Sabin- fieldman dye tes dan IgM- IFA ( IgM indirect fluorosence antibody tes).
Sabin- fieldman tes ini dilakukan pada akut infeksi frekuensi 2 bulan untuk mencapai kadar maksimum yaitu lebih dari 300 IU/ml atau bahkan lebih dari 3000 IU/ml. Titer yang tinggi didapatkan untuk beberapa bulan atau tahun. Titer yang rendah didapatkan sepanjang hidup.
Pedoman untuk interpretasi adalah:
o   Bila dye tes ini negatip tidak imun dan resiko pada kehamilaya.
o   Bila dye tes positip perlu dilakukan segera tes IgM- IFA dan bila Tes IgM- IFA hasilnya negatip, pasen sudah terinfeksi sebelum masa kehamilan.
o   Jika dye tes dibawah 300 IU/ml dan IgM-IFA positip, dye tes harus diulang 3 minggu kemudian. Jika ada peningkatan titer artinya pasen terinfeksi dua bilan sebelumnya dan kemungkinan terjadinya infeksi kongenital.
o   Jika dye tes diatas 300 IU/ml dan IgM- IFA positip kemungkinan besar ibu menderita toksoplasma aktif dan janin kemungkinan terinfeksi.
o   Infeksi kongenital didiagnosa dari :
  1. Didapatkan toksoplasma dari cairan amnion dan darah janin.
  2. Ditemukan IgM antibodi spesifik dan gamma glutamiltransferase dalam darah bayi setelah 22 minggu.

2.3 PENYAKIT –PENYAKIT YANG DISEBABKAN INFEKSI PROTOZOA
DAN PENANGULANGANNYA

1. TOKSOPLASMOSIS
Pengertiannya?
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang telah diketahui dapat menyebabkan cacat bawaan (kelainan kongenital) pada bayi dan keguguran (abortus) pada ibu hamil. Infeksi toksoplasma dapat bersifat tunggal atau dalam kombinasi dengan infeksi lain dari golongan TORSH-KM.
Sumber penularannya adalah kotoran hewan berbulu, terutama kucing. Cara penularan-nya pada manusia melalui:
  1. Makanan dan sayuran/buah-buahan yang tercemar kotoran hewan berbulu (kucing).
  2. Makan daging setengah matang dari binatang yang terinfeksi.
  3. Melalui transfusi darah atau transplantasi organ dari donor yang terinfeksi toksoplasma.
  4. Secara kongenital (bawaan) dari ibu ke bayinya apabila ibu hamil terinfeksi pada bulan-bulan pertama kehamilannya. Toksoplasma pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran, lahir prematur, lahir mati, lahir cacat atau infeksi toksoplasma bawaan. Bilamana ibu hamil terkena infeksi tokso-plasma maka risiko terjadinya toksoplasmosis bawaan pada bayi yang dikandungnya berkisar antara 30-40%.
Infeksi toksoplasma bawaan ini dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan mengalami kerusakan mata, perkapuran otak, dan keterbelakangan mental, namun seringkali gejala ini tidak terlihat pada bayi yang baru lahir (neonatus). Beberapa faktor yang mungkin berperan atas munculnya gejala adalah fungsi plasenta sebagai sawar (barrier), status kekebalan (imunitas) ibu hamil, dan umur kehamilan ketika terjadinya infeksi pada ibu. Makin besar umur kehamilan ketika terjadinya infeksi, makin besar pula kemungkinan terjadinya infeksi toksoplasma bawaan pada janin. Pada pihak lain, makin dini terjadinya infeksi pada janin, makin berat kerusakan (kelainan) yang dapat terjadi pada janin dan makin besar kemungkinan abortus.
 Siklus hidup parasit toksoplasma
Toxoplasma gondii tersebar luas di alam pada manusia maupun hewan dan merupakan salah satu penyebab infeksi yang paling sering terjadi pada manusia di seluruh dunia. Parasit ini adalah suatu protozoa yang tergolong Coccidia, dan mempunyai 3 (tiga) bentuk:
  1. Ookista (bentuk resisten yang berada di lingkungan luar).
  2. Trofozoit (bentuk vegetatif dan proliferatif).
  3. Kista (bentuk resisten yang berada di dalam tubuh manusia dan hewan).
Toxoplasma berkembang-biak di usus hewan berbulu khususnya kucing, menghasilkan keluarnya ookista bersama tinja kucing. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Ookista membentuk sporozoit dalam 1 sampai 3 hari dan tetap infektif selama berbulan-bulan sampai setahun di dalam tanah lembab dan panas, yang tidak kena sinar matahari. Tanah yang tercemar kotoran hewan (ku-cing) menyebabkan infeksi pada tikus dan burung, yang kemudian akan menyebabkan reinfeksi kembali pada kucing. Dengan cara ini daur hidup parasit ini sudah lengkap. Anak-anak juga dapat terinfeksi karena bermain di tanah yang tercemar kotoran kucing. Tanah juga merupakan sumber infeksi untuk herbivora seperti kambing, domba, babi dan ternak. Karena infeksi pada kebanyakan hewan menetap secara menahun, maka daging yang mentah atau setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia dan hewan karnivora.

Gejala dan wujud klinis toksoplasmosis
Gejala yang timbul pada infeksi toksoplasma tidak khas, sehingga penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya telah terkena infeksi. Tetapi sekali terkena infeksi toksoplasma maka parasit ini akan menetap (persisten) dalam bentuk kista pada organ tubuh penderita selama siklus hidupnya. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah pembesaran kelenjar getah bening (limfe) dikenal sebagai limfadenopati, yang dapat disertai demam. Kelenjar limfe di leher adalah yang paling sering terserang. Gejala toksoplasmosis akut yang lain adalahdemam, kaku leher,   nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (arthralgia), ruam kulit, gidu (urticaria), hepatosplenomegali atau hepatitis.
Wujud klinis toksoplasmosis yang paling sering pada anak adalah infeksi retina (korioretinitis), biasanya akan timbul pada usia remaja atau dewasa. Pada anak, juling merupakan gejala awal dari korioretinitis. Bila makula terkena, maka penglihatan sen-tralnya akan terganggu. Pada penderita dengan imunodefisiensi seperti penderita cacat imun, penderita kanker, penerima cangkok jaringan yang mendapat pengobatan imunosupresan, dapat timbul gejala ringan sampai berat susunan saraf pusat seperti ensefalopati, meningoense-falitis, atau lesi massa otak dan perubahan status mental, nyeri kepala, kelainan fokal serebral dan kejang-kejang, bahkan pada penderita AIDS seringkali mengakibatkan kematian.
Wujud klinis toksoplasmosis bawaan adalah kelainan neurologis: hidrosefalus, mikrose-falus, kejang, keterlambatan psikomotor, perkapuran (kalsifikasi) abnormal pada foto rontgenkepala. Selain itu tampak pula gangguan penglihatan: mikroftalmi, katarak, re-tinokoroiditis; juga gangguan pendengaran, dan kelainan sistemik: hepatosplenomegali, limfadenopati, dan demam yang tidak diketahui sebabnya.

Pengobatan
Untuk mengendalikan infeksi yang persisten ini, umumnya diperlukan reaksi imun tubuh yang memadai (adekuat). Penderita toksoplasma dengan sistem imun yang normal tidak memerlukan pengobatan, kecuali ada gejala-gejala yang berat atau berkelanjutan.
Toksoplasmosis pada penderita imunodefisiensi harus diobati karena dapat mengakibatkan kematian. Toksoplasmosis pada ibu hamil perlu diobati untuk menghindari toksoplasmosis bawaan pada bayi. Obat-obat yang dapat digunakan untuk ibu hamil adalah spiramisin 3 gram/hari yang terbagi dalam 3-4 dosis tanpa memandang umur kehamilan, atau bilamana mengharuskan maka dapat diberikan dalam bentuk kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin setelah umur kehamilan di atas 16 minggu. Pada bayi yang menderita toksoplasma bawaan baik bergejala atau tidak, sebaiknya diberikan pengobatan untuk menghindari kelainan lanjutan. Obat-obatan yang digunakan adalah:
  • Pirimetamin 2 mg/kg selama dua hari, kemudian 1 mg/kg/hari selama 2-6 bulan, dikikuti dengan 1 mg/kg/hari 3 kali seminggu, ditambah
  • Sulfadiazin atau trisulfa 100 mg/kg/hari yang terbagi dalam dua dosis, ditambah lagi
  • Asam folinat 5 mg/dua hari, atau dengan pengobatan kombinasi:
  • Spiramisin dosis 100 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, selang-seling setiap bulan dengan pirimetamin,
  • Prednison 1 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai ada perbaikan korioreti-nitis. Perlu dilakukan pemeriksaan serologis ulangan untuk menentukan apakah pengobatan masih perlu diteruskan.
Sebagai strategi baru untuk menanggulangi masalah infeksi toksoplasma yang bersifat persisten ini, digunakan kombinasi imunoterapi dan pengobatan zat antimikroba. Cacat imunologi seluler diobati dengan imunomodulator (Isoprinosine atau levamisol), sedangkan infeksinya dikendalikan dengan pemberian spiramisin. Kombinasi pengobatan ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan bagi pende-rita dengan meningkatkan reaksi imunologik selulernya dan sekaligus mengendali-kan infeksi toksoplasmanya.


DAFTAR PUSTAKA


  1. http://spesialis torch.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=129
  2. http://www.kalbe.co.id/?mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=135
  3. http://nurfahmi.wordpress.com/2008/01/24/risiko-infeksi-pada-ibu-hamil/
  4. http://pkusolo.wordpress.com/2007/11/20/penyakit-infeksi-sistemik-pada-kehamilan-segi-praktis-pengenalan-dan-penatalaksanaannya/
  5. http://sammarieclinic.com/ve/index.php?view=article&catid=37%3Awebsite&id=59%3Atoksoplasmosis&format=pdf&option=com_content&Itemid=71
  6. http://nusaindah.tripod.com/toksoplasmosis.htm
  7. http://enformasi.com/2009/02/toxsoplasma-toksoplasmosis.html
  8. http://cpddokter.com/home/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=90
  9. http://www.google.co.id/search?hl=id&q=virus+pernafasan+adalah&btnG=Telusuri&meta=
  10. http://www.google.co.id/search?q=parvovirus+adalah&hl=id&start=10&sa=N
  11. http://www.google.co.id/search?hl=id&ei=CNBSSvvoH4aosgP8m-39Bg&sa=X&oi=spell&resnum=0&ct=result&cd=1&q=parvovirus+adalah&spell=1
  12. http://www.google.co.id/search?hl=id&q=parfovirus+adalah&btnG=Telusuri&meta=
  13. http://www.google.co.id/search?hl=id&ei=usxSSvbCKoHGsQP4rMD6Bg&sa=X&oi=spell&resnum=0&ct=result&cd=1&q=enterovirus+adalah&spell=1

0 Response to "Makalah Lengkap Penyakit Langganan Bakteri Dan Virus BAB I, II, Daftar Pustaka"

Post a Comment